Masyarakat di kawasan rawa gambut atau lahan basah di Sumatera Selatan terbagi dalam tiga komunitas. Adalah masyarakat yang menetap di sekitar sungai utama, masyarakat yang menetap di sekitar anak sungai, serta masyarakat rawang atau lebak yang kini dipahami sebagai gambut.
Masyarakat yang menetap di sungai utama umumnya berprofesi sebagai pedagang atau yang tidak terkait dengan pertanian, perkebunan dan perikanan. Sementara, masyarakat di sekitar anak sungai atau risan bersinggungan dengan perkebunan, pertanian, dan peternakan. Masyarakat yang menetap di sekitar sungai ini dipastikan menguasai hampir semua lahan mineral yang dijadikan lahan perkebunan dan pertanian.
Terakhir, masyarakat rawang aktivitasnya terkait perikanan dan mencari hasil hutan seperti kayu dan lainnya. Mereka, menyikapi kawasan rawa gambut sebagai milik bersama, sehingga tidak ada hukum kepemilikan individu.
Masyarakat rawang juga tidak melarang masyarakat sungai untuk mencari ikan atau menanam padi (sonor) saat musim kemarau panjang. Kondisi yang terjadi di bawah tahun 2000-an, hampir lima tahun sekali.
“Sejak penghancuran hutan dan lahan gambut oleh HPH, serta penguasaan lahan oleh perkebunan dan HTI, masyarakat yang sangat dirugikan adalah masyarakat rawang,” kata Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI, Badan Litbang dan Inovasi KLHK), kepada Mongabay, saat melakukan kunjungan ke sejumlah desa di sekitar SM Padang Sugihan Sebokor, Sumatera Selatan, Kamis (24/052018).
Mereka ini, kata Handoyo, bukan hanya kehilangan sumber kehidupan, tetapi juga kehilangan tempat hidup. “Saat ini, sebagian besar mereka menetap bersama masyarakat sungai, tapi tidak memiliki lahan.”
Berapa besar jumlah masyarakat rawang pada desa-desa sekitar rawa gambut di Kabupaten OKI dan Banyuasin? “Perkiraan sementara kami sekitar 20-30 persen dari penduduk setiap desa. Tapi angka ini perlu penelitian lebih luas,” katanya.
Handoyo mencontohkan masyarakat rawang yang berada di Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampan, Kabupaten OKI, yang saat ini jumlahnya sekitar 30 persen dari 4.700 warga desa. “Dapat dikatakan, hampir semua masyarakat rawang ini tidak memiliki lahan,” katanya.
Sebagian besar mereka berprofesi sebagai buruh di perkebunan, bangunan, dan lainnya. Sebagian kecil, tetap mengakses rawa gambut untuk mencari ikan dan kayu. “Mereka disebut perambah karena sebagian besar kawasan rawa gambut di Desa Perigi Talangnangka, yang dikelola leluhur mereka sejak puluhan tahun lalu, saat ini menjadi kawasan SM Padang Sugihan Sebokor.”
Kawasan kelola lahan gambut masyarakat rawang Desa Perigi Talangnangka ini mulai terganggu sejak masuknya perusahaan HPH PT. Wijaya Murni pada 1980-an. “Ironinya, sebagian besar mereka tidak dilibatkan,” kata Edi Rusman, tokoh masyarakat Desa Perigi Talangnangka.
“Yang menikmati, justru masyarakat yang menetap di sekitar sungai. Mereka yang hidup di rawang tidak mau terlibat, karena mereka memahami jika sejumlah kawasan hutan tidak boleh diganggu atau mempunyai penjaganya,” kata Edi.
Kawasan kelola atau habitat masyarakat rawang di Desa Perigi Talangnangka luasnya mencapai 10 ribu hektar. Setelah hutannya habis oleh HPH, kemudian ditetapkan pemerintah sebagai kawasan SM Padang Sugihan Sebokor. “Sebelumnya, ada perusahaan sawit mau menguasai, kami melakukan perlawanan. Tapi setelah perusahaan pergi, lahan tersebut justru ditetapkan sebagai kawasan SM Padang Sugihan Sebokor oleh pemerintah. Kami hanya mendapat 1.100 hektar, yang kemudian dijadikan kawasan sawah cetak,” katanya.
Kerugian
Berapa kerugian yang dirasakan masyarakat sekitar rawa gambut sejak lahan tersebut tidak dapat diakses masyarakat? “Puluhan miliar Rupiah. Itu baru dari ikan saja,” kata Handoyo.
Sebagai contoh, sekitar 1970-an, ada 50 kepala keluarga yang merupakan masyarakat rawang, setiap hari menghasilkan sekitar 50 kilogram ikan sungai dari kawasan rawa gambut yang kini menjadi SM Padang Sugihan Sebokor dan perkebunan sawit perusahaan. “Nilainya saat ini sekitar lima ratus ribu rupiah. Sebulan mereka menghasilkan hingga Rp15 juta per kepala keluarga,” katanya.
Nah, sejak 2010, penghasilan dari ikan tersebut tidak ada lagi. Itu artinya, hingga saat ini masyarakat rawang kehilangan pendapatan sekitar Rp72 miliar atau sekitar Rp1,44 miliar per kepala keluarga.
Sementara masyarakat sungai yang setiap hari mendapatkan ikan dengan cara memancing atau menjaring di rawa gambut, saat ini harus membeli pasokan ikan dari Palembang. “Setiap hari ikan yang dikonsumsi warga Desa Perigi sekitar 300 kilogram. Harganya berkisar Rp20-30 ribu per kilogram.”
Sebagai informasi, ikan merupakan bahan utama kuliner masyarakat di sekitar rawa gambut. “Setiap hari memang wajib makan dengan lauk ikan. Entah dipindang, digoreng atau dijadikan pempek,” kata Muryati, warga Desa Perigi Talangnangka.
Handoyo mengatakan, seharusnya program restorasi gambut yang dijalankan pemerintah saat ini harus menjamin kehidupan masyarakat rawang. “Mereka harus diberikan lahan untuk hidup, baik sebagai wilayah permukiman yang umumnya berupa rumah panggung maupun sebagai sumber kehidupan.”
Artinya, capaian restorasi gambut itu bukan sebatas berhentinya bencana kebakaran dan lahan kembali ditumbuhi pohon. Tetapi juga, menyelamatkan manusia yang selama ini telah menjaga secara arif rawa gambut. “Jangan sampai restorasi gambut itu justru menghilangkan ruang hidup atau habitat komunitas tertentu,” ujarnya.
Selain itu, Handoyo menilai program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah terkait restorasi gambut lebih banyak menyentuh masyarakat sungai. Bukan komunitas rawang, yang paling dirugikan dari kerusakan gambut.