November 2017. Udara terasa sejuk saat saya berjalan di rute jalur setapak di Taman Hutan Raya (Tahura) Lapak Jaru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pepohonan menjulang tinggi dengan kanopi lebat. Pohon ulin, meranti, kruing, tengkawang, jelutung dan beragam jenis anggrek tumbuh subur di kawasan seluas 4.119 hektar itu.
Keragaman hayati kawasan ini memang tinggi. Hasil survey di Tahura Lapak Jaru menunjukan terdapat 422 spesies tumbuhan, yang 113 diantaranya jenis endemik Kalimantan yang dilindungi. Juga 88 jenis burung, 13 mamalia dan 16 binatang melata. Kekayaan itu yang menjadikan Tahura Lapak Jaru sebagai kawasan ekowisata potensial.
Masuk ke dalam hutan, terdapat air terjun Bawin Kameloh yang memiliki ketinggian sekitar 20 meter. Air terjun itu tergolong unik, air jatuhan menyerupai danau kecil berwarna hitam kecoklatan, bukan karena sumber cemaran, tetapi karena air berasal dari wilayah ekosistem gambut.
Tidak hanya Bawin Kameloh, Tahura memiliki tiga air terjun lain, destinasi gua tinggalan Belanda, dan Situs Religi Batu Salib, juga masih ada tempat-tempat lain yang belum dieksplorasi.
Untuk menuju Situs Batu Salib, semak belukar dan pohon-pohon tinggi yang menaungi perbukitan harus dilalui beberapa jam berjalan kaki, juga melewati beberapa anak-anak sungai kecil.
Februari 2018. Saat kembali ke Lapak Jaru, jalan menuju situs Batu Salib suasananya sudah berubah. Pepohonan tinggi sudah banyak yang hilang, semak belukar sudah dibabat. Aksi vandalisme pun terjadi di Situs Batu Salib di salah satu sisinya.
Jalan baru sudah dibuka. Lebarnya sekitar enam meter dengan panjang mencapai 11 kilometer. Sekarang hanya perlu 20 menit berkendaraan roda dua dari Pusat Kota Kuala Kurun ke situs ini. Sisa-sisa batang pohon yang tumbang tampak terserak di sepanjang perjalanan.
Persis di pinggir hutan, berdiri sebuah bangunan non permanen, -tenda dengan terpal biru. Dua pria berjaga. Sebuah ekskavator terparkir di samping bangunan.
Dalam kurun waktu hanya tiga bulan terjadi perubahan drastis. Pembukaan hutan untuk pertambangan emas terjadi. Apa sebenarnya yang terjadi?
Kerusakan itu bernuansa kontradiktif, amat bertolak belakang dengan komitmen Pemkab Gunung Mas yang untuk menjaga kawasan Tahura. Dalam pertemuan dengan Bupati Arton S. Dohong pada tanggal 7 November 2017 di Kantor Bupati di Kuala Kurun. Bupati menyampaikan komitmennya secara jelas dan bernas. Dia menyebut potensi kawasan tahura sebagai obyek pariwisata daerah.
“Tahura Lapak Jaru penting bagi Kabupaten Gunung Mas. Sebab kawasan hutan semakin berkurang. Keberadaan tahura menjadi jaminan kawasan hutan tak akan berkurang.Tahura akan memberi kontribusi kepada masyarakat secara keseluruhan. Juga kontribusi karbon yang bukan hanya untuk masyarakat Gunung Mas saja, tapi juga untuk semua orang,” demikian Arton dalam pernyataannya saat itu.
Arton mengatakan dalam SK Tahura Lapak Jaru yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar bernomor 240/MenLHK/Setjen/PTKL.2/3/2016, disebutkan tanggung jawab dan wewenang pengelolaan Tahura Lapak Jaru berada di tangan Pemkab Gunung Mas.
“Tentunya SK itu telah memberikan kewenangan sepenuhnya [pada Pemkab] untuk mengelola dan mengawasi Tahura sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Tahura ini akan dijadikan objek wisata yang nantinya akan dikembangkan oleh Dinas Kehutanan dan Pertanahan. Ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Dia pun tak lupa menyebut, pihaknya telah membuat perencanaan untuk membangun berbagai infrastruktur guna mendukung ekowisata. Seperti rumah pohon, jembatan gantung, prasarana outbond dan lain-lain. Ekowisata yang dipadukan dengan pembangunan prasarana wisatanya, akan menghasilkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Kabupaten Gunung Mas.
Bagi Arton, mempertahankan Tahura Lapak Jaru adalah keniscayaan. Adanya Tahura Lapak Jaru buah dari sebuah proses panjang. “Ini perjuangan hampir 10 tahun lebih. Perjuangan Pemda yang sangat panjang,” katanya.
Dia pun menyebut pada tahun 2016-2017 Pemda sudah membuat jalan inspeksi untuk menjaga kawasan yang mengelilingi kawasan.
“Kita berani menjamin bahwa perizinan yang ada tak akan dekat atau masuk dalam kawasan Tahura. Khusus kawasan Tahura, wajib bagi Pemerintah daerah dan semua pihak baik itu masyarakat yang ada di sekitarnya, maupun pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Pertanahan untuk mengamankan Tahura,” lanjutnya.
Namun fakta yang terjadi di lapangan berbeda. Saat ini kawasan ini dirusak oleh aktivitas pertambangan emas.
***
Keberadaan tambang emas rakyat di dalam kawasan Tahura Lapak Jaru tak terjadi begitu saja. Pada Januari 2017, – setelah Tahura diresmikan pada tahun 2016, Bupati Gunung Mas mengeluarkan surat rekomendasi bagi penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Dalam dokumen bernomor 500/06/Adper&SDA/I/2017 itu tertulis bahwa Pemkab Gunung Mas pada prinsipnya mendukung dan tidak keberatan memberikan rekomendasi wilayah WPR kepada seseorang bernama Jhoni Anggen.
Pada bulan Maret 2017, Jhoni bersurat kepada Gubernur dan Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kalteng. Isinya mengajukan permohonan WPR di daerah Sungai Panakon seluas 368,3 hektar di wilayah Kelurahan Kuala Kurun, Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas.
Pada 5 April 2017, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengirimkan surat kepada Menteri ESDM. Isinya menyebut penentuan usulan Blok WPR Sei Panakon seluas 368,3 hektar untuk dicantumkan dalam revisi penetapan Wilayah Pertambangan di Pulau Kalimantan.
Alasannya, karena berdasarkan UU nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, penerbitan izin pertambangan rakyat menjadi wewenang Pemerintah Provinsi. Selanjutnya, disebut usulan Blok WPR Sei Panakon telah memenuhi kriteria, yaitu memiliki cadangan emas dan merupakan wilayah yang dikerjakan oleh masyarakat lebih dari 15 tahun.
Selanjutnya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov Kalteng menerbitkan surat bernomor 570/2/DESDM-IPR/XII/DPMPTSP-2017 tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atas nama Kelompok Usaha Pertambangan Rakyat Sei Panakon. Surat itu ditandatangani tertanggal 29 Desember 2017 oleh Kepala Dinas Penamanan Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov Kalteng, Aster Bonawaty.
Dalam surat itu tertulis IPR Sei Panakon, yang diketuai oleh Jhoni Angen dan beranggotakan Jasalmen Purba, Brikson, Berliana dan Nedy Arianto, mendapatkan izin seluas lima hektar dan berlaku selama dua tahun.
Namun ada ketentuan yang mengiringi pemberian izin tersebut. Diantaranya, dilarang menambang di luar Wilayah Izin Pertambangan Rakyat (WIPR), dilarang menggunakan mesin dengan tenaga lebih dari 25 PK, dilarang menggunakan bahan peledak, dilarang menambang melebihi kedalaman 25 meter, dilarang memindahtangankan perizinan kepada orang lain, dan dilarang melaksanakan kegiatan di lapangan sebelum mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Disebut, jika melanggar, maka akan diberikan peringatan tertulis, penghentian kegiatan penambangan dan bahkan pencabutan izin.
Kenyataannya, ada satu perizinan yang belum diurus yaitu IPPKH, sementara kegiatan pembuatan jalan sudah berjalan. Hal ini pertama diketahui oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Pertanahan Gunung Mas Rody Aristo Robinson pada tanggal 29 Desember 2017, berdasarkan hasil laporan masyarakat yang menyebut ada alat berat yang masuk kawasan di sebelah timur Tahura Lapak Jaru.
Laporan itu lalu ditindaklanjuti dengan patroli yang dilakukan Dinas Kehutanan dan Pertanahan Kabupaten Gunung Mas pada tanggal 4 Januari 2018. Saat itu, ditemukan alat berat yang sudah memasuki pos jaga Tahura Lapak Jaru. Bahkan pos tersebut juga dijadikan sebagai camp pekerja dan penyimpan bahan bakar. Teguran langsung diberikan pada pekerja saat itu.
Sebagai tindak lanjutnya, Rody pada tanggal 19 Januari 2018 mengeluarkan surat instruksi penghentukan kegiatn pertambangan rakyat Sei Panakon sampai ada IPPKH.
“Kami sampaikan hasil patroli ke Bupati dan Pemprov. Kami juga sampaikan kepada BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) Wilayah XXI Palangkaraya agar ada kejelasan. Sekarang kegiatan sudah diberhentikan sementara. Saya tak mau kena pasal pembiaran. Saya bikin laporan tertulis,” jelas Rody kepada Mongabay Indonesia (05/02).
Dia menyebut selama proses penerbitan perizinan tambang, Dinas Kehutanan dan Pertanahan sama sekali tak dilibatkan.
“Kami tak tahu proses perizinan mereka dari awal sampai akhir dan juga tak bisa intervensi. Kami tak pernah dilibatkan dalam proses pembahasannya. Kita kaget langsung muncul IPR ini.”
Mongabay berusaha mengkonfirmasi hal ini kepada Bupati Kabupaten Gunung Mas, Arton S Dohong. Namun saat tiba di Kantor Dinasnya, yang bersangkutan sedang tak berada di tempat. Sambungan seluler pun tak bisa dihubungi.
***
Soal belum adanya IPPKH, dibenarkan Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, Agung C Prabowo. Menurutnya, kegiatan pertambangan tak bisa dilakukan jika Kelompok WPR Sei Panakon belum mendapatkan IPPKH.
“Surat dari [Dinas Kehutanan dan Pertanahan Gunung Mas] memang sudah masuk ke sini. Mereka meminta arahan agar tak terjadi tumpang tindih penggunaan kawasan hutan. Ini sedang kami proses dan telaah,” jelas Agung.
Prinsipnya, lanjut Agung, di kawasan hutan diperbolehkan ada kegiatan pertambangan sepanjang ada IPPKH.
“Boleh saja di kawasan konservasi, regulasi yang mengatur tambang diperbolehkan tapi dengan mekanisme atau pola under ground. Bukan open pit. Tapi di sini kan tak terbiasa begitu. Kalau masyarakat kan juga gak mungkin. Keberadaan emasnya sendiri bukan bongkahan-bongkahan yang gabung dengan bebatuan, tapi di pasir.”
Agung mengatakan, IPPHK bisa dikeluarkan oleh Menteri LHK atau Gubernur. IPPHK bisa dikeluarkan oleh Gubernur jika memenuhi berbagai kriteria. Diantaranya untuk pembangunan jalan yang tak bisa lagi dielakan atau istilahnya dalam kondisi force majeure.
Menurut Agung, hingga saat ini Gubernur Kalteng belum memberikan rekomendasi. Hanya sebatas penetapan lokasi yang diusulkan kepada Kementerian ESDM.
“Dalam Izin dari PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Atap), amarnya kan jelas dilarang laksanakan kegiatan sebelum menyelesaikan seluruh proses perizinan. Apabila melanggar, sanksinya peringatan tertulis dan pencabutan izin.”
Dalam proses ini, secara kebijakan amar kalau dilanggar akan jadi pertimbangan. Dalam izin PTSP, Dinas Kehutanan hanya memberikan pertimbangan, bukan memberikan izin.
“PTSP yang punya kewajiban mencabut. Dishut hanya memberikan pertimbangan teknis. Pertimbangan teknis bukan jaminan terbitnya perizinan. Ini kan prosedur belum selesai. Mengapa mereka sudah bekerja? Di sisi lain, kita juga tak bisa langsung hentikan. Nanti dianggap tak pro dengan rakyat. Tapi kita juga punya kepentingan untuk menyelamatkan Tahura. Memperjuangkan pembentukan Tahura Lapak Jaru juga dari Dinas Provinsi,” papar Agung.
Sementara itu, Direktur Konservasi Direktorat KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) KLHK Suyatno Sukandar mengatakan salah satu sumber permasalahan berasal dari tumpang tindih kawasan. Masing-masing pihak sebutnya, menggunakan peta berbeda.
“Kawasan konservasi kita, yang mengandung mineral itu banyak. Persoalannya sekarang kita tak memiliki peta yang sama. Arahan Presiden sekarang harus memiliki kebijakan one map policy. Kita merujuk ke sana. Jadi tak terjadi overlap lagi,” ujarnya.
Dia pun menyebut, pihaknya akan memeriksa kelengkapan perizinan yang ada. Jika memang pengrusakan terjadi di wilayah konservasi, bakal bisa dikenai pidana.
“Harus dilihat historisnya. Apakah betul masyarakat di situ sudah lama, -atau setidaknya 15 tahun beraktivitas menambang emas? Kalau baru, ini termasuk perambahan,” ujarnya.
***
Aktivis lingkungan senior dari Save Our Borneo (SOB), sebuah lembaga pemerhati lingkungan dan hutan pun, angkat bicara. Dia punya sudut pandang berbeda.
“Izin pinjam pakai kawasan hutan, itu kalau di hutan produksi. Kalau di Tahura yang kawasan konservasi, tak bisa diubah fungsinya. Kalau tetap diberikan, harus diubah dulu status kawasannya. Atau tukar menukar, dia harus mencari kawasan pengganti,” terang M. Habibi pegiat SOB.
Menurutnya kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah terkait dengan Izin Pertambangan bertentangan dengan SK Menteri KLHK tentang penunjukan Tahura Lapak Jaru dan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Dia pun mempertanyakan ambiguitas yang terjadi. Di satu sisi Bupati memperjuangkan Tahura Lapak Jaru, tapi di sisi lain mengeluarkan rekomendasi izin pertambangan.
Menurutnya, Balai Penegakan Hukum Kalteng harusnya dapat cepat memverifikasi dugaan perambahan kawasan Tahura Lapak Jaru ini.
“Jika ini terbukti melanggar aturan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), pihak yang terlibat bisa kena pidana melakukan perbuatan melanggar hukum,” tandasnya.
Foto tampak muka: Jalan yang dibuka di Tahura Lapak Jaru. Dok: Istimewa