Jika berkunjung ke Kabupaten Ende, jangan lupakan menyempatkan diri datang ke Kampung Adat Wologai. Kampung yang terletak di ketinggian sekitar 1.045 mdpl merupakan salah satu kampung adat tersisa yang masih ada di Flores. Diperkirakan usianya sudah sekitar 800 tahun.
Wologai terletak sekitar 37 kilometer arah timur kota Ende, di Kecamatan Detusoko yang dapat ditempuh dengan kendaraan umum maupun mobil sewaan dengan harga sekitar 300 ribu rupiah selama sehari.
Di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kampung terdapat sebuah pohon beringin yang diyakini komunitas adat Wologai ditanam oleh leluhur mereka, yang sekaligus konon setara dengan waktu pendirian kampung adat ini.
Satu hal unik dari Wologai adalah arsitektur bangunannya yang berbentuk kerucut. Rumah-rumah dibangun melingkar dan ada tiga tingkatan dimana setiap tingkatannya disusun bebatuan ceper di atas tanah yang sekelilingnya dibangun rumah-rumah. Semakin ke atas, pelataran semakin sempit menyerupai kerucut.
Deretan rumah panggung di kampung ini dibangun melingkar mengitari Tubu Kanga, sebuah pelataran yang paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat digelarnya ritual adat. Batu ceper yang terdapat di tengah digunakan serupa altar untuk meletakan persembahan bagi leluhur dan sang pencipta.
Rumah panggung ini dibuat dari kayu yang diletakan di atas 16 batu ceper yang disusun tegak untuk dijadikan tiang dasar penopang bangunan ini. Bangunan dengan panjang sekitar 7 meter dengan lebar sekitar 5 meter ini memiliki atap berbentuk kerucut yang dibuat dari alang-alang atau ijuk. Tinggi banguan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya sekitar 3 meter.
Karena keunikannya, tak heran saat disambangi Mongabay Indonesia, akhir Maret lalu terdapat beberapa wisatawan asing sedang memotret di tempat ini.
Filosofi Bentuk Bangunan
Menurut Bernadus Leo Wara, mosalaki ria bewa atau juru bicara para tetua adat di kampung ini, jumlah keseluruhan rumah adat di kampung Wologai adalah 18 rumah adat, 5 rumah suku dan sebuah rumah besar. Jelasnya, rumah suku dipakai sebagai tempat penyimpanan benda pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat berlangsung ritual adat.
“Bentuk atap rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan kewibawaan para ketua adat yang didalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa,” terangnya.
Mencermati rumah adat di Wologai seyogyanya mirip dengan rumah adat lainnya milik etnis Lio. Bagian kolong rumah (lewu) dahulunya dipergunakan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan loteng difungsikan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan digunakan pada saat ritual adat.
Aloysius Leta seorang pemahat patung yang ditemui Mongabay di pelataran rumah adat menjelaskan, zaman dahulu leluhurnya adalah kelompok nomaden, hingga akhirnya memutuskan menetap di Wologai.
“Tiap suku mempunyai bentuk bangunan rumah adat yang sama namun memiliki ciri khas yang berbeda seperti ukiran yang ada pada tiang kayu bangunannya,” jelas Leta. “Dahulu pun atap rumah tidak boleh dari ijuk tetapi alang-alang. Tapi sekarang banyak yang mempergunakan ijuk, sebab jika pakai alang-alang maksimal 3 tahun sekali atapnya harus diganti. Sementara kalau dengan ijuk bisa bertahan puluhan tahun.”
Menurut Leta, untuk membangun rumah adat tidak boleh sembarang. Perlu didahului dengan ritual adat Naka Wisu. Yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu perlu menyembelih seekor ayam.
Demikian pula dengan keberadaan Kampung Adat Wologai. Leo menjelaskan masyarakat masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan turun-temurun.
Dalam setahun jelasnya di Kampung Adat terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) pada bulan September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana selama 7 hari masyarakat tidak menjalankan aktivitas hariannya.
“Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktifitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lainnya. Mirip upacara Nyepi di Bali,” jelasnya.
Setelah melewati berbagai upacara, maka komunitas adat akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran di sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol mengucap kegembiraan dan kebersamaan.