Terdengar gandang sarunai, alat musik tradisional dari Sumatera Barat mulai berbunyi. Talempong berbunyi sahut-menyahut menambah meriah acara puncak perayaan tradisi turun ke sawah. Tradisi ini setiap tahun dirayakan dalam pawai alegoris dan makan makan bajamba di Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan, Sumbar.
Tradisi turun ke sawah atau ritual Nandabiah Kabau Nan Gadang dilakukan masyarakat Nagari Koto Baru untuk memulai masa tanam. Ia diyakini ada sejak zaman nenek moyang.
Ketua Kerapatan Adat Nagari Koto Baru, Jalaludin Datuk Lelo Dirajo, mengatakan, tradisi ini bentuk rasa peduli dan doa masyarakat akan hasil panen dan sumber air bersih sebelum mulai tanam.
“Zaman raja-raja sudah ada tradisi turun ka sawah sebagai kepedulian masyarakat Koto Baru terhadap masyarakat yang tinggal di hulu Sungai Batang Bangko, “ katanya.
Saat itu, sungai keruh hingga raja khawatir. “Setelah diamati ternyata bertepatan dengan turun ke sawah di hulu sungai ada masyarakat mencari (baca ikan).”
Dalam ritual ada penyembelihan kerbau. Warga membeli Rp20 juta hasil iuran anak kemenakan dari 147 niniek mamak se-Koto Baru.
Setelah disembelih, daging dibagikan kepada 147 niniek mamak dari sembilan suku. Yakni, Panai, Bariang, Sikumbang, Caniago, Melayu, Kutianyia, Kampai, Tigo Lareh, dan Durian. Masing-masing kaum memiliki satu orang datuak pamuncak yang menjadi perwakilan dalam Kerapatan Adat Nagari.
Setelah dimasak di rumah masing-masing, masyarakat akan ritual makan bajamba di rumah gadang.
“Sebelum makan bersama, kita akan pawai alegoris. Ada pertunjukan tari persambahan diiringi musik tradisional, dan silek. Baru makan bajamba ditutup dengan doa agar sawah berhasil panen banyak,” ucap Jalaludin.
Ritual ini, katanya, juga sebagai pengganti kepada masyarakat hulu sungai. Nanti ada pembagian daging kepada ke mereka sebagai imbal jasa telah merawat sungai. “Sekaligus bentuk syukur masyarakat,” katanya.
Tradisi turun ke sawah ini sempat hilang selama lima tahun belakangan. Terakhir, digelar 2011. “Ini kebudayaan harus tetap ada.”
Ketika ritual ini sempat hilang, banyak masyarakat meresahkan kehadiaran hama dan berbagai penyakit menyerang padi mereka.
“Kami sempat kewalahan dengan babi dan penyakit padi. Tentu membuat hasil panen menurun,” kata Nasrial, masyarakat Nagari Koto Baru.
Tradisi tanam serentak ini, memang meningkatkan produksi padi masyarakat. Beras membludak membuat harga pasar turun.
KKI Warsi telah uji coba pembelian beras oleh kelompok masyarakat di Jorong Simancuang, Kecamatan Pauh Duo, Solok Selatan. Tekanan para tengkulak dapat diatasi.
Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Simancuang sebagai penampung beras masyarakat. Harga beli ditetapkan jauh lebih tinggi dari para tengkulak. Harga stabil, dan tengkulak tak bisa membli beras dari petani dengan harga rendah.
Koordinator Regional Sumbar KKI Warsi Riche Rahma Dewita menyebutkan, mengatakan, cara ini memutus mata rantai perdagangan beras para tengkulak. Harga beras bisa stabil dan menguntungkan petani.
“Sejak pembelian beras ini dilakukan,masyarakat memiliki pilihan menjual beras. Agar tersosialisasikan, LPHN juga membuat pengumuman harga jual beras hingga bisa diketahui masyarakat luas. Terpenting, harga lebih tinggi dibandingkan harga jual tengkulak.”
Sebelumnya, harga beras hanya Rp10.000 per kg, kini di Simancuang, menjadi Rp12.500 perkg. Pengumuman harga terbuka.
Dengan begitu, katanya, kala ada tengkulak beras datang, mau tak mau harus mengikuti harga ini jika ingin tetap mendapatkan beras masyarakat.
Riche mengatakan, dari model perdagangan beras ini, mereka sudah bisa mendapatkan keuntungan Rp500.000. Kegiatan ini, katanya, tak hanya menaikkan harga jual beras juga mengantisipasi perpindahan lahan.
Bahkan, katanya, tak jarang padi di sawah belum dipanen sudah berpindah tangan karena pemilik sawah sedang membutuhkan uang.
Dalam kasus seperti ini, yang memberikan pinjaman membeli padi di lahan belum panen. Bahasa lain, gadai lahan dengan uang pinjaman yang disepakati.
Sawah petani menjadi agunan harus ditebus kepada pemberi pinjaman. Jika sampai batas waktu tertentu, belum bisa membayar, otomatis lahan berpindah tangan.
”Ini sangat merugikan masyarakat, jika mereka kehilangan lahan, lantas apa yang akan mereka lakukan? Sawah bagi mereka barang sangat berharga dan menjadi tempat bergantung hidup.”
Bersawah dan penyelamatan hutan
Potensi sawah di Solok Selatan, cukup besar, bahkan kabupaten ini menjadi lumbung beras di Sumbar. Kabid Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Solsel, Zamzami mengatakan, luas sawah di nagari itu 9.540 hektar dengan panen padi sekali empat bulan. Dari luasan itu, 2.081 hektar di Kecamatan Sungai Pagu.
Pertunjukan musik tradisional Minangkabau yaitu talempong dan gandang sarunai. Foto: Elviza Diana
Sungai Pagu terdiri dari 11 nagari dengan luas sawah di Nagari Koto Baru sekitar 700 hektar. “Ini upacara untuk 700 hektar sawah di Koto Baru,” katanya.
Seiring masih tinggi animo masyarakat mengelola sawah, kebutuhan air menjadi sangat penting bagi mereka. Begitupun dengan masyarakat Nagari Koto Baru, menyadari penting menjaga hutan. Saat ini, mereka mulai mengalami penurunan debit air untuk mengairi sawah persawahan.
Tiga tahun silam, masyarakat Koto Baru, sudah mendapatkan surat penetapan areal hutan nagari 1.145 hektar. Pengelolaan hutan, diharapkan mampu membentengi masyarakat dari bencana ekologis.
“Kami pernah bencana galodo 1995. Ini pelajaran berharga untuk pengelolaan sumber daya alam baik dan kembali ke alam. Seperti petuah Minangkabau, Alam takambang jadi guru,” kata Datuk Lelo Dirajo.
Terkait pembangunan kehutanan di Sumbar yang memperioritaskan pemberdayaan masyarakat, Dinas Kehutan telah mengidentifikasi 110 nagari berpotensi mendapatkan hak kelola dengan skema perhutanan sosial.
Sumbar menargetkan 500.000 hektar dalam skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat hingga 2017.
Hingga kini menurut Rainal Daus, Manajer Advokasi dan Kebijakan KKI Warsi, ada 44.149 hektar hutan sudah ada SK penetapan hutan nagari, 34.869 hektar masih proses.
Untuk skema hutan kemasyarakatan yang mendapatkan legalitas 4.098 hektar dan berproses 15.185 hektar. Jika dilihat data, katanya, masih perlu perjuangan keras mewujudkan 500.000 hektar. “Saat ini baru 20% terealisasi.”