Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di 15 lokasi di wilayah terluar di seluruh Indonesia, salah satunya di Pulau Talaud, Propinsi Sulawesi Utara.
Tulisan kedua ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang meliput ke Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Liputan untuk melihat kondisi perikanan disana dan dampak pembangunan SKPT di Pulau Talaud dan Pulau Sangihe.
***
Seorang tukang ojek menemani ketika saya sedang menunggu ‘taksi gelap’ (sebutan untuk angkutan umum) di sekitar Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho, kecamatan Tamako, kabupaten kepulauan Sangihe, Jumat (16/9/2016). Kabarnya, semakin petang akan semakin sulit mendapatkan angkutan menuju kecamatan Tahuna.
Tukang ojek yang usianya lebih dari setengah usia saya itu kemudian menawarkan jasa tumpangan menuju kecamatan Tahuna. Biayanya sepuluh kali dari tarif angkutan normal. Saya menolak, lalu mengalihkan pembicaraan.
Setelah mengetahui maksud kunjungan saya ke Dagho, dia mulai menanggapi. “Dulu ini (kompleks pelabuhan) adalah pemukiman warga. Sekitar 3 hektar luasnya,” dia bercerita.
Ketika proyek pembangunan dimulai, sekitar tahun 1970-an, pemukiman itu digusur. Mau-tak mau, warga bergegas meninggalkan pesisir. Tanpa ganti rugi, tanpa perlawanan. Warga lalu pindah ke bagian dalam kampung.
Kemudian, pada 15 Mei 1978, Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho diresmikan. Tandatangan Soeharto, mantan presiden Republik Indonesia, sampai sekarang masih terpampang di kompleks pelabuhan.
Namun, dalam perkembangannya, aktifitas perikanan di sana tidak bertahan lama. Jarak yang jauh dari Tahuna, basis perikanan di Sangihe, diyakini membuat nelayan enggan mendaratkan hasil perikanan di Dagho.
“Terakhir hanya pabrik es-nya yang jalan, hingga sekitar tahun 2000-an. Lupa tepatnya. Habis itu sudah tidak jalan lagi. Baru sekarang, setelah ibu Susi datang, dibuka lagi,” tambah dia.
Ibu Susi yang dimaksud adalah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang pada 12 Mei 2016 silam, meresmikan dermaga dan revitalisasi pelabuhan ini.
Di sana, dia menyatakan, Dagho memiliki potensi investasi untuk dikembangkan, namun pemanfaatannya terbilang minim. Pemanfaatan di sektor ini hanya 27.200 ton per tahun atau baru 30,8 persen dari potensi perikanannya.
Karena itu, sebagai upaya mendorong pembangunan kelautan dan perikanan di Sangihe, tahun 2015 dan 2016, Kementarian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalokasikan bantuan kepada pemerintah daerah senilai Rp57,6 miliar. Lebih dari setengah jumlah bantuan KKP dialokasikan untuk proyek revitalisasi Dagho yang mencapai Rp29,5 miliar.
Situs resmi KKP menyebut, lewat bantuan itu, di areal pelabuhan seluas 32000 m2 dibangun unit pengolahan ikan seluas 450 m2, dua gedung pabrik es dengan kapasitas masing-masing 3 ton, gedung cold storage 10 ton, gedung pabrik es compressor mycom 20 ton, dan ice storage 5 ton.
“Selain itu juga, dibangun instalasi listrik kapasitas 50 KVA, instalasi air, sleepway sepanjang 40 m, dermaga pelabuhan 6×30 m, tanki BBM 2 unit (5 KL dan 600 KL), serta Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) 4000 ton,” demikian dijabarkan dalam situs tersebut.
Kunjungan menteri ke Dagho, dikabarkan sekaligus melepas ekspor ikan perdana dari pulau-pulau terluar. Namun, hingga kini, ikan-ikan malalugis dari Dagho masih tertahan di Bitung karena belum memenuhi kuota ekspor.
(Baca : Liputan Sangihe, Tidak Jadi Diekspor ke Jepang, Di Mana Ikan-Ikan Dagho Berlabuh? )
Belum Ekspor, Cold Storage Rusak
Lewat bantuan Rp29,5 miliar itu, sejumlah fasilitas telah terbangun di Dagho. Namun, di saat ikan belum sampai ke Negara ekspor, sejumlah fasilitas sudah terlebih dahulu mengalami kerusakan.
Indar wijaya, Manajer Pemasaran Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang ditempatkan di Dagho mengungkapkan, salah satu permasalahan itu adalah rusaknya kipas pada cold storage yang berkapasitas 40 ton.
Indar Wijaya merupakan petugas Perindo yang baru seminggu bertugas di sana. Dia ditemani Imam Restu yang mendapat tugas mengurus produksi. Keduanya menggantikan Rezka dan Jeri. Dalam kurun tersebut, mereka mendapati permasalahan kipas pada cold storage, yang tidak beroperasi secara maksimal.
Dari tiga kipas, kata Indar, hanya satu yang berfungsi. Satu kipas sama sekali tidak berfungsi dan satu lagi tidak bekerja maksimal. Dia menilai, jika cold storage dalam keadaan normal, air dari es-es yang cair akan secara otomatis keluar. Tapi, yang terjadi sebaliknya. Ketika es cair, airnya menetes di dalam, kemudian menggenang. Akibatnya, kipas jadi beku dan tidak bisa berputar.
“Kalau kipasnya berputar semua, suhu bisa sampai minus 25 derajat. Paling tidak minus 18 derajat. Maksimum, minus 5 derajat, lah. Suhu kemarin, bahkan pernah positif 3 derajat,” terangnya ketika di temui Mongabay, Senin (26/9/2016).
Permasalahan tersebut semakin diperparah dengan frekuensi mati lampu yang relatif sering. Indar khawatir, kondisi itu berdampak buruk pada kualitas ikan-ikan di dalam cold storage. “Kalau secara SOP, tidak bisa seperti itu. Kualitas ikan bisa menurun. Jadi, seminggu-dua minggu ikan-ikan harus segera dikirim. Kalau terlalu lama bisa rusak.”
Selain rusaknya kipas dalam cold storage, pemanfaatan ABF (air blast freezer) untuk pembuatan es batu juga cukup meresahkan petugas Perindo. Selama seminggu bertugas, Indar dan Imam mengaku tidak pernah memanfaatkan pabrik es di pelabuhan tersebut. Sebab, sampai saat ini, mereka belum mengetahui pihak yang berwenang mengelola pabrik es di Dagho.
“Tidak baik terus-menerus membuat es batu di ABF. Sebab, ABF ini juga harus diisi ikan-ikan. Kalau penuh dengan es batu, maka ikan tidak bisa masuk. Atau sebaliknya, kalau penuh dengan ikan, tidak bisa bikin es batu,” terangnya.
Felix Gaghaube, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemkab Sangihe, mengakui, kipas dan mesin cold storage merupakan barang lama yang kemudian dimodifikasi supaya UPI (unit pengolahan ikan) bisa cepat berfungsi. Dia menyatakan, akan segera mengkomunikasikan permasalahan ini agar mendapatkan solusi.
“Kondisinya seperti itu (barang lama), akhirnya ada hambatan-hambatan (kerusakan). Tapi secara teknis, kami akan mengkomunikasikan ini untuk mengatasi hambatan yang ditemui Perindo,” janji Felix.
“Sebenarnya, kami berharap, dalam waktu yang tidak terlalu lama, harus ada evaluasi kembali tentang program ini. Tapi, kami masih menunggu dari KKP waktu untuk evaluasi pengoperasian PPP Dagho.”
ICS Baru Sebagai Solusi?
Di luar bantuan senilai Rp29,5 miliar untuk Dagho, KKP kembali memberi bantuan Rp11,8 miliar untuk pembangunan Integrated Cold Storage (ICS) atau gudang beku terintegrasi.
Jika ICS telah terbangun pada 4 Desember 2016 nanti, maka pelabuhan Dagho akan memiliki cold storage berkapasitas 210 ton dan ABF 15 ton. Dengan fasilitas baru ini, diharapkan hasil tangkapan nelayan bisa tertampung.
Meski demikian, Felix belum begitu mengetahui pihak yang nantinya punya kewenangan mengelola ICS yang rampung pada bulan Desember 2016. “Kedepan, kami akan bicarakan lagi seperti apa ICS akan dikelola. Apakah, karena aturannya harus kita lelang, nanti kita akan bahas bersama KKP, Pemprov Sulut dan Pemkab Sangihe, juga dengan Perindo,” jelasnya.
Selain itu, meskipun kapasitas ICS akan mampu menampung hasil tangkapan nelayan dalam jumlah yang lebih banyak, namun proses pengiriman ikan ke Bitung akan terus dilakukan. “Kalau untuk ke Bitung, ada proses lain yang harus kita laksanakan. Karena, ketika ikan dikirim ke Bitung, selanjutnya akan dikirim ke negara tujuan maupun kebutuhan dalam negeri.”
Prof. Frans Ijong, Direktur Politeknik Negeri Nusa Utara, Tahuna, mengatakan, permasalahan fasilitas di Dagho tidak perlu terjadi jika pemerintah punya konsep pembangunan yang jelas. Pembangunan ABF, misalnya, harus terlebih dahulu mengkaji dan memiliki data tentang hasil tangkapan nelayan.
“Masalah itu terjadi karena tidak punya naskah akademik. Bagaimana mengembangkan kapasitas ABF kalau tidak punya data tentang hasil tangkapan nelayan per kapal, per hari, per minggu? Kalau punya data, maka bisa menentukan kapasitas ABF,” terang Prof. Ijong.
Selain data hasil tangkapan nelayan, dia menilai pembangunan juga harus mempertimbangkan daya listrik di kabupaten kepulauan Sangihe. Untuk itu, tambahnya, pemerintah perlu melibatkan seluruh stakeholder lalu mendesain industri perikanan sesuai dengan kondisi di daerah.
“Apa yang mereka lakukan, saya apresiasi. Tapi, tidak ada dasar akademik. Dalam pembangunan perikanan, jangan pikir dulu ABF, tapi pikir dulu pabrik es-nya. Gimana pergi ke laut tanpa es? Bagaimana bisa menjaga mutu ikan?”
“Tetapi, persoalannya, apakah suplai listrik dari PLN bisa? Bagaimana membangun industri perikanan sementara daya listrik di sini tidak mencukupi?” tanya Prof. Ijong.
Dalam penyusunan RTRW, pihaknya sedikit pun tidak merekomendasikan Dagho sebagai pelabuhan perikanan. Tetapi, justru mendorong pelabuhan perikanan di Tahuna, yang bukan di lokasi pelabuhan umum.
Rekomendasi itu didasarkannya pada fakta historis bahwa sejak tahun 1970-an, kawasan Dagho dinilai tidak cocok menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai. Penilaian tersebut didasari oleh, pertama, sejak lama lokasi di sekitar pelabuhan Dagho tiap tahunnya selalu terjadi sedimentasi.
“Makanya, pelabuhan Dagho yang dulu ada di atas, sekarang dibangun lagi ke depan. Tahun berikut pasti akan dibangun lagi ke depan. Karena terjadinya sedimentasi cepat sekali, maka tidak cocok untuk pelabuhan perikanan.”
Penilaian kedua, lanjut Prof. Ijong, letak geografis menjadi alasan minimnya suplai ikan kesana. Meski sarana transportasi darat sedang dikembangkan, namun dia melihat sarana tersebut tidak cukup menunjang.
“Bayangkan, masyarakat nelayan dari kelurahan Tidore yang ingin membawa hasil tangkapannya lewat jalur darat, susah. Sementara pemasaran ikan harus berkejaran dengan waktu,” paparnya.
Bahkan, meski saat ini di kompleks pelabuhan Dagho sudah terbangun sejumlah sarana dan pra sarana, Prof. Ijong tetap merekomendasikan pemerintah untuk memindah pelabuhan perikanan. “Jadikan saja Dagho sebagai lokasi perbaikan kapal. (Pelabuhan perikanan) pindah ke tempat lain, di sekitar Tahuna,” pungkasnya.