Guna persiapan menyusun kebijakan moratorium sawit sesuai perintah Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melakukan evaluasi terhadap permohonan sampai izin-izin kebun sawit. Ada temuan mencengangkan, sekitar 2,3 juta hektar kebun sawit tak berizin pusat maupun daerah. Di Papua dan Papua Barat, sekitar satu juta hektaran lahan sawit dari 66 perusahaan diambil alih. Sayangnya, data lengkap soal evaluasi lahan sawit ini belum dibuka dengan alasan belum selesai.
San Avri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK mengatakan, ada sekitar 3,5 juta hektar lahan dari pelepasan yang menjadi obyek moratorium. Yang sudah pasti ditolak, katanya, seluas 948.418,79 hektar dari permohonan 60 perusahaan tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Sisanya, 2,3 juta merupakan lahan bodong.
Pemerintah, katanya, akan menindaklanjuti serius isu sawit tak berizin ini. Namun, Awang bilang, tak akan gegabah alias mesti penuh kehati-hatian dalam menindak kebun tak jelas yang masih proses evaluasi ini.
”Kalau kita tegakkan hukum gampang tapi mungkin kesulitan dalam eksekusi. Kalau soft (upaya persuasif), bisa beri sewa pakai batas waktu tertentu baru,” katanya.
Namun, katanya, kalau pakai cara sewa pakai dengan batas waktu tertentu terhadap jutaan hektar lahan sawit tak berizin, banyak menabrak UU.
”Banyak UU tertabrak ini, bisa jadi perlu Perpu untuk sewa pakai tadi itu supaya tak nabrak UU.”
Sedangkan, 3,5 juta hektar lain masih proses evaluasi dan masuk moratorium lanjutan jika terbukti mangkrak atau tak produktif.
”Itu (3,5 juta, red.) terdiri dari 1,6 juta hektar pelepasan, dan 1,9 hektar lahan tukar menukar.” Adapun sistem tukar menukar hutan sebelumnya telah diatur melalui PP 60/2012 dan PP 104/2015.
Dalam evaluasi ini, KLHK juga mengambil alih lahan kembali pelepasan hutan buat sawit seluas satu jutaan hektar di Papua dan Papua Barat. Seharusnya, kata San, ada 66 perusahaan sawit mendapatkan izin, tetapi belum melakukan apa-apa. Luasan ini akan dievaluasi dan menjadi bahan obyek moratorium.
Adakah celah untuk buru-buru menggarap lahan? San pun akan mengirimkan surat ke gubernur. KLHK memastikan tak ada pembukaan lahan.
San menjelaskan, lima kriteria lahan perkebunan yang menjadi obyek moratorium. Pertama, pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan untuk kebun sawit yang belum dikerjakan atau tak produktif.
Kedua, ada indikasi tak sesuai tujuan pelepasan dan tukar menukar. Ketiga, indikasi dipindahtangankan pada pihak lain.
Keempat, izin sawit sudah keluar dengan tutupan lahan bagus. Kelima, keberadaan kebun sawit di kawasan hutan.
Kelima kriteria ini, katanya, telah disampaikan dalam rapat koordinasi bersama Kementerian Koordinator Perekonomian dan akan dimatangkan tim kecil KLHK.
Pertemuan lanjutan nanti, katanya, kembali diagendakan dengan pengajuan materi Instruksi Presiden.
Guru Besar Manajamen Kehutanan UGM ini memprediksi payung hukum Inpres akan selesai awal Agustus. Menurut dia, perlu ada persamaan persepsi dan usulan dari 12 institusi dalam rapat koordinasi lanjutan di Kemenko Perekonomian. ”Paling cepat minggu awal Agustus rampung.”
Tata kelola hutan
Salah satu tujuan moratorium adalah perbaikan tata kelola dan tata kelola lahan dan lingkungan. ”Moratorium bukan sebatas cek kosong, justru memiliki konteks. Mempertimbangkan salah satunya kesejahteraan petani, pasar, perbaikan komoditas sawit, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan,” katanya.
Momen inipun menjadi ajang peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan optimalisasi produksi. ”Selama ini kebun rakyat kurang dua juta ton per tahun, kalau bisa naik enam ton, jadi tiga kali lipat.”
Skema perbankanpun perlu diperhatikan dalam membantu petani. Penyempurnaan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) juga menjadi salah satu agenda moratorium ini. ”Bagaimana membuat ISPO diakui internasional.” Selama ini, standar wajib sawit Indonesia ini belum jalan.