Laki-laki tua itu menyiram seluruh tubuh dengan pasir. Warga lain membawa spanduk protes. “Jogja Istimewa Hotelnya, Sleman Sembada Apartemennya.” “Semoga KPK segera memeriksa izin pendirian apartemen di Sleman.”
Mereka mendatangi Badan Lingkungan Hidup (BLH) Yogyakarta menyampaikan penolakan pendirian apartemen dan condotel The Palace di Jalan Kaliurang, Kilometer 11, Sleman.
“Kalau sawah jadi beton, anakku mangan opo? Opo yo mangan beton?” kata Agustinus Prastowo Pandu Satrio, koordinator aksi, pertengahan Agustus 2015.
Panas terik tidak menyurutkan semangat puluhan warga tergabung dalam Aliansi Warga Sleman Berdaya (ASWB) ini.
Para perempuan lantang berorasi menolak apartemen. “RIP BLH” Begitu bunyi spanduk mereka.
Pandu mengatakan, warga Gadingan, Sinduarjo, Ngaglik, menemukan mal administrasi selama proses perizinan apartemen dan condotel The Palace. Tak ada sosialisasi kepada warga terdampak radios 100 meter.
“Seharusnya ada sosialisasi di Dukuh Gadingan, kami akan merasakan dampak terutama ancaman kekeringan air sumur, irigasi sawah dan sosial budaya masyarakat kampung rusak.”
Peta tapak bangunan juga janggal. Tidak jelas batas wilayah antarpedukuhan. Warga menjumpai dokumen Amdal The Palace do Pedukungan Gadingan terkesan disamarkan.
Dalam pernyataan sikap ASWB menuliskan alasan penolakan seperti pembangunan apartemen menimbulkan ketakutan warga ring satu atas bangunan tinggi. Yogyakarta zona empat rawan gempa. Apartemen juga di laur utama evakuasi bencana merapi, resapan air dan persawahan di lingkungan padat penduduk dan padat lalu lintas. Pembangunan mengabaikan kajian rencana detail tata ruang Sleman. Penyusunan dokumen lingkungan, katanya, tidak melibatkan masyarakat terdampak dan mengabaikan aspirasi warga sekitar.
Halik Sandera, Direktur Walhi Yogyakarta mengatakan, lokasi pembangunan apartemen dalam peta tata ruang masuk kawasan lindung bawahan, khusus resapan air. Dalam dokumen Amdal disebutkan apartemen akan membuat sumur resapan sedalam 10 meter. Padahal sumur warga 5-10 meter. “Artinya, sumur resapan akan mengganggu sumur warga. Belum lagi basement apartemen sedalam tujuh meter. Belum dijelaskan apakah menggangu air tanah dangkal sumur warga sekitar apartemen.”
Dia mengatakan, banyak apartemen dan hotel di Yogyakarta dan Sleman akan mempengaruhi ketersedian air saat kemarau. Debit air tanah setiap tahun turun. Pada 2014, air tanah turun hingga 20 centimeter dengan populasi 3,6 juta jiwa.
Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, ancaman masyarakat dari pembangunan apartemen, mal dan hotel yaitu akses air hilang karena kehilangan atau rusak.
“Masyarakat sekitar berpotensi kehilangan akses dan kontrol hak atas air, karena kualitas dan jumlah.” Begitu juga pengelolaan limbah hotel seperti air, sampah, tinja, juga perlu dicek.
Dalam konteks bencana, katanya, tidak membangun hotel dan apartemen adalah pencegahan paling sempurna. Dalam konteks konservasi, apakah lahan hotel sudah dipastikan bukan konservasi, cagar budaya atau sepadan sungai.
Untuk itu, pemerintah harus menata ulang tata ruang hotel, apartemen dan mal dengan lokasi bukan pada padat penduduk, hingga tidak terjadi perebutan akses, ruang, air dan udara. Pemerintah perlu memastikan data-data berhubungan dengan jumlah air, sistem sanitasi, kualitas udara, serta kajian kualitas lingkungan.
Pemerintah, katanya, bisa membuat zonasi hotel dalam tata ruang perkotaan, dengan batasan jumlah yang dibangun, dan sesuai nilai dan kebudayaan masyarakat.
Yunita Kaiulani, Direktur Teknik PT Funaru Berkah, pengembang The Palace Apartemen & Condotel mengatakan, telah melakukan sosialasi kepada warga terdampak. Mulai dari IPT, Amdal dan sosialisasi irigasi. Lokasi apartemen di lahan 4.200 m Jl. Kaliurang Sleman.
“Lokasi kami bukan di Dusun Gadingan, tapi di Pedak. Sosialisasi kami lakukan pada warga Dusun Pedak hingga ke aparatur desa.”
Terkait pembangunan akan mengacam sumber air warga, katanya, pembangunan basement dari tujuh meter menjadi 5,5 meter. Soal perizinan, mereka mengantongi izin penggunaan tanah (IPT) dari Bupati Sleman sebagai syarat peruntukan lahan bangunan. “Soal ancaman air tanah hilang sudah diperhitungkan ahli. Kami gunakan sistem terbaik menekan getaran, sumber air hilang dan dampak lain.”
Mulai ditinggalkan
Suryanto, Dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Teknik, menyampaikan, Yogyakarta dalam dasawarsa terakhir menghadapi permasalahan dilematis karena marak pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan.
Satu sisi mendorong pertumbuhan investasi daerah. Namun. sisi lain menggerus indeks kenyamanan hidup Yogyakarta. Ia juga mengancam keistimewaan Yogyakarta hilang karena pembangunan tidak berlandaskan acuan sejarah dan budaya, hanya ekonomi.
Penelitian Suryanto, menemukan, ketentuan tata ruang tidak cukup menjadi acuan pengaturan keistimewaan Yogyakarta. Konsep keistimewaan Yogyakarta, tak jelas karena tak berdasar pertimbangan akar sejarah dan budaya. “Jika ekonomi menjadi haluan, selamat tinggal keistimewaan. Semua itu kembali ke rakyat Mataram, mau atau tidak?” katanya.