Kekeringan mulai melanda sejumlah daerah di tanah air seperti Jawa, Sulawesi Selatan, Lampung, Bali, NTB, dan NTT. Hujan tak turun sudah puluhan hari. Kondisi ini menyebabkan masa paceklik atau gagal panen, kebakaran hutan dan lahan sampai krisis air bersih. Sebenarnya dampak buruk kemarau bisa diminimalisir. Begitu kata Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Gajah Mada (UGM), Agus Maryono.
Dia mengatakan, kekeringan terjadi karena pada musim penghujan tidak berupaya penuh memanen atau menabung air hujan dan menyimpan untuk kemarau.
Memang, katanya, perlu upaya ekstra berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah dan lain-lain. “Ketidaksiapan masyarakat menghadapi kekeringan karena sudah terbiasa menerima bantuan air atau membeli air daerah lain walau jauh,” kata di Yogyakarta.
Masyarakat, lebih memlih menggantungkan diri dari air bersih PDAM yang tak mampu memenuhi kebutuhan warga ini. Kebiasaan ini, katanya, sangat berbahaya dan rentan menderita kekeringan, terlebih kala terjadi fenomena El0Nino esktrem seperti 1997.
Agus menyarakan, beberapa solusi menghadapi kemarau. Cara preventif, antara lain, menyimpan dengan tampungan air hujan (PAH), memasukan ke sumur resapan dan sumur-sumur penduduk. Sedangkan, langkah kuratif, seperti mencari sumber air tersisa, memeriksa kembali sumur-sumur penduduk hingga menyaring air untuk air bersih.
Emilia Nurjani, M.Si dari Laboratorium Hidrometeorologi dan Kualitas Udara, Fakultas Geografi UGM mengatakan, perlu membuat sumur-sumur resapan sekaligus memberikan pengetahuan kepada petani tentang pola musim hujan dan jenis padi cocok kemarau.
Kekeringan di NTT
Salah satu daerah langganan kelaparan dan kekeringan di NTT. Heri Naif, Direktur Eksekutif Walhi NTT mengatakan, kekeringan dan kelaparan di NTT ada hubungan timbal balik dengan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di sana.
Walhi menggarisbawahi, pemprov dan pemkab NTT seharusnya mengakomodir tata ruang dan tata kelola adat. “Harus ada ruang sakral dan ruang kelola disertai kearifan lokal yang kosmosentris dalam perda provinsi dan kabupaten.”
Dia mengatakan, kebijakan penggerukan pertambangan harus berubah menjadi kebijakan pemulihan daerah-daerah ekologi genting, dengan menempatkan rakyat sebagai subyek, membantu proses pemulihan. Misal, wajib menanam pohon dan memelihara hingga besar. Dalam 10 tahun, NTT bisa hijau.
“Kemarau harus meminimalisir titik api kebakaran di NTT dan identifikasi dan evaluasi kualitas kawasan-kawasan lindung agar menjadi daerah fokus pemulihan.”
Kekeringan di DIY
Di Yogyakarta, menghadapi kekeringan ini, dinas sosial menyiapkan dropping air bersih untuk 1.153 tangki. Air mulai didistribusikan Agustus-Oktober, sesuai permintaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Untung Sukaryadi, Kepala Dinas Sosial Yogyakarta mengatakan, persiapan anggaran penanganan kekeringan dari APBD sebanyak 553 dan APBN 600 tangki air bersih. “Kami sudah menyiapkan 1.153 tanki distribusi Agustus, September, dan Oktober.”
Dengan rincian, permintaan air bersih dari Gunungkidul 300 tangki, Kulonprogo 125, Bantul 70, Sleman 50 tangki. Berdasarkan data BPBD DIY, kekeringan sudah dipetakan ada 16 kecamatan. Jumlah itu sebagian besar di Gunungkidul.