Abdul Rahman berbadan gemuk. Rambut, kumis dan jambangnya sudah memutih. Meski berusia 58 tahun, suaranya masih lantang dan detil. Ia merupakan pemangku adat Sembalun, di kaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia bercerita adat Sembalun juga bagian dari Suku Sasak. Suku sasak artinya hutan lebat, pohon lurus atau esa. “Sembalun berasal dari kata Sembah dan Ulun. Artinya peradaban pertama atau masyarakat pertama di Lombok. Menyembah kepada yang di atas, pimpinan, atau sembah berjamaah,” katanya.
Masyarakat Sembalun merupakan masyarakat pendatang dari Persia, India dan Paqsai, yang datang pada abad ke-7. Saat ini di Sembalun, warga Sulawesi, Jawa dan Sumatera hidup sasak atau bersama.
Kepada Komisioner Sidang Inkuiri Adat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Aula kantor Kanwil Dephumham, Mataram, NTB, pada Jumat (14/11/2014), Abdul Rahman menjelaskan masyarakat adat Sembalun mengenal konsep Wetu Telu. Maknanya tuhan, alam dan manusia di jalankan atas tiga pemimpin, yakni pengulu radak dan kiyai, pemangku adat dan pembantunya, pemekel adat atau jero.
“Kami melakukan pembinaan dan pelestarian tenun dan mengadakan upacara adat,” katanya.
Terdapat rumah adat sebagai bukti adanya masyarakat adat Sembalun Lawang, yaitu Rumah Adat Desa Beleq, Rumah Adat Ketapahan, Rumah adat Montong Mentagi. Bahkan satu-satunya rumah adat yang berusia ribuan tahun ada di Sembalun dan situs-situs budaya.
Urusan menjaga alam di Sembalun diemban oleh pemangku adat. Urusan tata ruang diemban oleh Mangku Bumi. Mangku Gawar menjaga hutan seperti kepentingan mengambil kayu, berburu dan semedi dikawasan hutan.
Ada Mangku Gunung yang mengatur kelestarian gunung. Mangku Makem bertugas melakukan konservasi mata air dan biota di dalamnya dan Mangku Rangtewas menjaga kawasan cagar alam. Untuk mengatur persoalan cagar budaya dilakukan oleh Mangku Kepatahang.
“Tugas mangku-mangku tersebut tidak lain sebagai perangkat Adat Sembalun untuk menjaga alam dan hutannya agar tetap terjaga dan lestari,” kata Abdul Rahman.
Rimbunnya Lembah Sembalun
Desa Sembalun Lawang merupakan perkampungan yang terletak di kaki Gunung Rinjani, sehingga udaranya dingin. Terdapat monyet ekor panjang bergelantungan dan mendekati orang-orang yang datang. Sampah-sampah plastik berserakan di pinggir lerengnya.
Gunung Rinjani tertutup awan, hanya terlihat Gunung Pegangsingan. Ladang pertanian dan rumah-rumah warga terlihat dari Pusuk Sembalun. Dibalik sisi pusuk atau lembah Sembalu, hutan lebat terlihat menawan dan rimbun sekali. Pohon-pohonnya menjulang tinggi.
I Ketut Gede Yasa, Staf BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) Wilayah VIII Denpasar mengatakan, kawasan hutan Rinjani ditunjuk sebagai hutan titipan pada 19 Desember 1929. Tahun 1938 diukur dengan berita acara tapal batas. Menteri Pertanian lewat surat keputusan No.756 KPPSUN.10.11.82 pada 12 Oktober 1982 menetapkan 63.232 hektar sebagai kawasan hutan. Dimana penunjukan ini dinamakan tata guna hutan di dalamnya termasuknya hutan Rinjani. Tata guna hutan disepakati oleh kepala dinas kehutanan, Gubernur Nusa Tenggara Barat dan disahkan oleh Menteri Pertanian.
Sejak tahun 2000 sampai 2012 batas luar Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dilakukan rekonstruksi yang dilakukan oleh dinas kehutanan dan BPKH denpasar. Hasilnya luas keseluruhan 125.200 hektar dan tetah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan. Fungsi utama TNGR yakni hutan lindung seluas 59.266 hektar; hutan produksi terbatas, taman nasional, dan taman wisata alam seluas 356,90 hektar; taman hutan raya dan hutan suaka alam 36,6000 hektar.
“Penetapan kawasan taman nasional dari Kementerian Kehutanan tahun 2005 seluas 41.331 hektar. Proses yang dilalui melibatkan pemerintah daerah, instansi terkait dan tokoh masyarakat,” kata I Ketut Gede Yasa.
“Kami pernah melakukan komunikasi dengan masyarakat, namun kami tidak pernah mengetahui bahwa tanah TNGR menjadi sebagian tanah adat masyarakat Sembalun,” tambahnya.
Masyarakat Adat Untuk Kelestarian TNGR
Abdul Rahman menjelaskan perkembangan kawasan hutan Rinjani. Pada tahun 1941, ada pembagian kawasan atau lahan oleh Belanda. Ada sebagai hak milik, hutan lindung dan hutan suaka margasatwa. Tahun 1950, pemerintah Indonesia mengatur dan membatasi masyarakat tidak dibolehkan masuk kawasan hutan. Tahun 1960, masyarakat boleh masuk hutan tutupan dan boleh kelola lahan. Tahun 1971, pemasangan plang hutan marga satwa dan warga di usir dari kawasan hutan.
“Sejak tahun 1979 banyak hutan rusak, kebun kopi dirusak, tanah longsor dan terjadi kebakaran hutan. Padahal masyarakat menggantungkan hidupnya lewat bertani kopi. Hampir setiap tahun terhadi pembakaran hutan, ada laporan rusa dan satwa lainnnya yang mati,” katanya.
Puncak kebingungan masyarakat adat Sembalun pada tahun 1990. Mereka mendengar dari pemerintah terkait rencana penetapan TNGR, yang akhirnya 23 Mei 1997 ditetapkan kawasan TNGR dan Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT Sembalun Kusuma Emas (SKE) milik keluarga Cendana.
Sejarah singkatnya, pada tahun 1987, Pak Harto mengundang para investor datang ke Sembalun, dan pembebasan lahan dimulai pada 1988. Tahun 1989, PT SKE mendapat SK 183 hektar lahan yang hingga sejak itu sampai sekarang tidak dimanfaatkan, sehingga menjadi lahan tidur. Tahun 2006 petani meminta ke perusahaan untuk ijin pengelolaan, dan Bupati Lombok Timur berikan ijin HGU.
“Masyarakat tidak boleh masuk TNGR. Pembagian zone inti, zone rimba, zone pemanfaatan tidak dimengerti oleh masyarakat dan tidak dapat manfaat dari zone-zone tersebut,” tambah Abdul Rahman.
Ritual adat di Giri Suci yakni di kawasan Gunung Rinjani sudah jarang dilaksanakan sejak masyarakat dilarang masuk TNGR. Diantaranya ritual adat Loh Dewa dan Loh Makem. Loh Dewa yakni ritual menanam pohon atau reboisasi di kawasan hutan adat. Loh Makem, ritual menjaga kelestarian mata air, dengan ritual ini maka mata air yang mati akan hidup lagi.
Tahun 1960 ada 71 mata air di kawasan Gunung Rinjani. Tahun 1980 ada 17 mata air. Tahun 2000 ada 14 mata air dan sekarang hanya sisa 4 mata air. Adat Sembalun juga mengajarkan, jika masyarakat tebang satu pohon harus menanam dulu 10 pohon, tujuannya agar hutan tetap terjaga dan lebat.
Asnawi, staf Balai TNGR dalam DKU di Inkuiri Adat Komnas HAM mengatakan, pada tahun 2007 TNGR melakukan pemetaan zonasi. Sekitar Danau Segara Anak adalah zona inti untuk penelitian. Ada zona rehabilitasi, zona wisata alam untuk pemanfaatan kesejahteraan masyarakat dan zona tradisional. Pemetaan melibatkan teman-teman LSM.
“Terkait dengan melibatkan masyarakat, saya tidak tahu apakah masyarakat Adat Sembalun ada atau tidak ada. Tapi masyarakat ada,” kata Asnawi.
L. Najamudin Kepada Bidang Pengelolaan kawasan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Timur baru mengetahui ada masyarakat adat Sembalun di kawasan TNGR ada masyarakat adat Sembalun. “Kami baru mendengar ada masyarakat adat Sembalun,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, Wirabakti, Kepala Dinas Pariwisata Kab. Lombok Timur mengatakan sampai saat ini belum ada laporan terkait keberadaan masyarakat adat di Sembalun. Bahkan komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga menanyakan terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 dimana hutan adat adalah hutan yang berada dikawasan hutan adat, Wirabakti tidak tahu. “Saya belum pernah mengetahui adanya putusan MK 35,” katanya.
Abdul Rahman dan masyarakat adat Sembalun lainnya akan terus berjuang merebut hutan ada mereka yang diambil Taman Nasional yang akan dituntut mati-matian. Hasil pemetaan partisipatif mereka ada 13.663 hektar kawasan hutan Adat Sembalun.
“Kita akan mati-mati berjuang, merebut kembali hutan kita, tapi tidak anarki. Karena Dewa Sasak yakni Hutan Lebat. Kita harus lestarikan kembali hutan kita,” katanya.
“Kita tidak diakui sebagai masyarakat adat. Karena pihak TNGR takut, jika mereka mengakui artinya hutan adat harus diberikan kepada kita,” tambahnya.
Tiga bulan terakhir ini masyarakat diintimidasi. Mereka disuruh tanda tangan penyataan pengakuan bahwa pemilik lahan PT Sembalun. Bahkan seharusnya status Geopark menyatu dengan masyarakat adat. “Jika Geopark memang harus berjalan, ya harus bergandengan dengan masyarakat adat,” katanya.
Abdul Rahman mengandaikan dalam pembukaan konstitusi, masyarakat diantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Masyarakat adat belum sampai ke pintu gerbang kemerdekaan, karena hingga saat ini pihak TNGR belum mengakui keberadaan masyarakat adat Sembalun.
“Mudah-mudahan pada sidang Inkuri adat kemarin membawa kita kedalam pintu gerbang kemerdekaan. “Merdeka!,” teriak Abdul Rahman
“Merdeka!,” serentak warga lainnya menjawab.
Masyarakat punya harapan besar terhadap pemerintah kedepannya. Harapan mereka hutan adat mereka dikembalikan ke mereka. Lahan HGU dijelaskan statusnya. Lahan masyarakat yang dicabut dikembalikan dan berikan kompensasi ganti rugi.
“Saat ini kami masih di pintu gerbang kemerdekaan dan belum masuk, sesuai pembukaan UUD 1945. Berikan kesempatan bagi kami memgembangkan diri dan merasakan kemerdekaan,” harap Abdul Rahman.