Semunying Jaya adalah satu dari enam desa – Sekida, Kumba, Gersik, Jagoi Babang dan Sinar Baru – yang ada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Sebagai wilayah pemekaran dari Desa Kumba sesuai SK Desa 2004, desa ini masuk Kecamatan Seluas, Kabupaten Sambas. Mayoritas warga Semunying Jaya adalah Dayak Iban, satu-satunya komunitas Dayak yang sejak lama ada di Kabupaten Bengkayang.
Adalah PT. Yayasan Maju Kerja (Yamaker) yang pertama kali membukaan hutan di sepanjang perbatasan di kawasan itu pada 1980 hingga 1990-an. Konsesi PT. Yamaker selanjutnya diambil-alih negara. Perum Perhutani yang melanjutkan penebangan di kawasan tersebut hingga 2001. Lalu, perusahaan Malaysia, PT. Lundu, melanjutkan aksi penebangan, bahkan mendirikan tempat penggergajian.
Akhirnya, pada 2002, PT. Agung Multi Perkasa (AMP), perusahaan perkebunan kelapa sawit mendapatkan izin usaha oleh pemerintah daerah di wilayah tersebut. Dengan dasar izin yang dikantongi, PT. AMP mengeksploitasi hutan adat masyarakat. Perusahaan ini melakukan penebangan di areal seluas 4.000 ha. Hasil tebangannya dijual secara ilegal ke Malaysia. Pemerintah daerah kemudian mencabut izinnya.
Lalu, izin awal untuk membangun perkebunan sawit seluas 20.000 hektar dialihkan ke PT. Ledo Lestari (LL) pada 2004. Perusahaan ini adalah anak dari Duta Palma Nusantara Group. Keberadaan Ledo Lestari ini, bukan akhir dari eksploitasi sumber daya alam di Semunying Jaya.
Kali ini, masyarakat bergerak. Mereka berontak untuk mendapatkan hak kelola adatnya. Kronologi perampasan sumber daya alam milik warga Kecamatan Jagoi Babang ini, diungkapkan dalam dengar pendapat umum, dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM, hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya dalam kawasan hutan, di Pontianak, awal Oktober.
Inkuiri Nasional Komnas HAM ini digelar di lantai 3 Gedung Rektorat Universitas Tanjungpura. Hadir perwakilan dari masyarakat adat, pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat bahkan pihak kepolisian. Perwakilan masyarakat adat, hadir dengan menggunakan pakaian daerah.
Sebuah bilik berukuran 2 x 2 meter disediakan di sudut ruangan. Bilik tersebut dindingnya terbuat dari kain berwarna biru. Di bilik tersebut, warga bisa memberikan testimoni tanpa khalayak mengetahui identitas dan wajahnya. Sementara, pengambilan foto dilarang.
Kembalikan hutan adat
Masyarakat Semunying Jaya, meminta agar PT. LL mengembalikan kawasan hutan adat mereka sekitar 1.420 hektar yang telah dirampas. “Perusahaan juga telah mengambil atau menggusur kuburan leluhur. Sungai ditutup, kami kesulitan bercocok tanam dan kehilangan sumber air bersih,” kata tokoh Masyarakat Adat Semunying, Jaya Abulipah.
Abulipah mengatakan, Bupati Bengkayang Yakobus Luna, pada 15 Desember 2009 telah mengukuhkan Hutan Adat Warga Semunying Jaya. Ritual adat dihelat untuk mengukuhkan Tanah Adat Semunying Kolam. Walau demikian, pengukuhan tidak disertai dengan SK Bupati. Dia menambahkan, masuknya PT. LL membuat hutan yang dijaga turun-temurun berganti sawit,” katanya.
Sebenarnya, masyarakat sudah melakukan perlawanan sejak lama. Pada 6 Januari 2006, dialog dengan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) diketuai Jonatan Peno yang juga Ketua Bappeda dilakukan. Dalam pertemuan yang difasilitasi Dewan Adat Dayak Bengkayang itu disepakati bahwa masyarakat menolak PT. LL, lahan yang sudah dibuka harus dihijaukan, dan pelanggaran adat harus dibayarkan.
Warga juga sudah mengadukan hal ini ke presiden. Pada Februari 2007, warga didampingi Walhi Kalbar dan AMAN Kalbar menyampaikan pengaduan ke Komnas HAM RI dan Komnas HAM Perwakilan Kalbar. Tindakan PT. LL yang diadukan adalah pemaksaan dan perampasan tanah, penggusuran tanpa ganti rugi, tidak pernah ada sosialisasi, tidak menghargai adat budaya masyarakat, serta intimidasi aparat keamanan.
Padahal, PT. LL ini sudah berakhir izin lokasinya tanggal 20 Desember 2007 dan baru meminta perpanjangan ke Bupati Bengkayang tanggal 26 Juni 2009. Berarti selama Januari 2008 sampai kini, PT. LL beraktivitas secara ilegal.
Bahkan, pada Juni 2007 Komnas HAM Kalbar sudah melakukan pemantauan ke lapangan terhadap hal ini. Komnas HAM menemukan indikasi pelanggaran HAM berupa hak hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan kehidupan yang lebih baik (pasal 9 ayat 1 UU 39/1999); hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 9 ayat 2); hak atas pemenuhan kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara layak (pasal 11); hak memperoleh keadilan dan perlakuan hukum tanpa diskriminasi (pasal 17); serta pelanggaran hak-hak masyarakat adat (pasal 6 ayat 1 dan 2 UU 39/99). Temuan ini sudah disampaikan kepada Bupati, PT. LL, DPRD, TP3K dan pihak terkait lainnya di Bengkayang maupun di provinsi. Namun tidak ada tindak lanjut.
Pada 2009, Komnas HAM RI membentuk tim untuk mendalami dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat Semunying Jaya oleh PT LL. Pertengahan Agustus 2009 tim bertolak ke Semunying Jaya. Hasil rekomendasi yang diberikan sama, namun tidak membuahkan hasil. Hingga 2012, kesabaran masyarakat habis. Warga Semunying Jaya menyita hampir semua kendaraan operasional, menutup tempat pembibitan, dan menutup perkantoran PT. Ledo Lestari.
Itu mereka lakukan untuk menekan perusahaan agar segera mengembalikan hutan adat seluas 1.420 hektar yang diserobot. Polisi menahan dua warga. Jamaludin dan Kepala Desa Semunying Jaya, Momonus, ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan mendapat tahanan kota selama 20 hari. Walau akhirnya, alat-alat yang disita dikembalikan ke Polres Bengkayang.
Pelanggaran HAM
Kasful Anwar, Kepala Perwakilan Komnas HAM Kalbar mengatakan, dalam kasus ini, Komnas HAM sudah mengeluarkan rekomendasi pelanggaran HAM. “Ada poin agar pemerintah mengevaluasi kewajiban dan kinerja PT. Ledo Lestari karena diduga telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM,” kata Kasful.
Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, ini bertentangan dengan UUD 1945. Di situ, keberadaan masyarakat adat diakui, tetapi kenyataannya negara tidak melindungi hak-hak masyarakat adat. “Ini adalah pelanggaran HAM. Inkuiri Komnas HAM Nasional melakukan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.
Mewakili Komisi Pemberantasan Korupsi, Hariyadi menyatakan peran Komnas HAM sangat penting dalam melindungi masyarakat adat. “Konflik itu sudah lama terjadi walaupun Mahkamah Konstitusi memutuskan hutan adat bukan hutan negara tetapi praktiknya beda. Perlu revisi kebijakan perizinan dalam melindungi kepentingan masyarakat adat,” ujarnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio