Mahkamah Agung (MA) bekerjasama dengan USAID menyelenggarakan lokakarya terpadu sektor peradilan dalam penanganan perkara keanekaragaman hayati di Indonesia. Acara lokakarya tersebut diselenggarakan di Jakarta 12-16Januari 2015 dan diikuti oleh berbagai pihak terkait seperti MA, Kejaksaan Agung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta para ahli dan organisasi masyarakat sipil yang fokus di perlindungan satwa liar dan konservasi hutan.
“Lokakarya pada hari ini difokuskan titik beratnya pada keanekaragaman hayati. Lingkungan hidup merupakan induk hingga lahirlah peraturan-peraturan yang lebih memfokuskan pada illegal logging, illegal fishing dan sebagainya,” papar ketua MA Muhammad Hatta Ali dalam acara konferensi pers sesaat setelah pembukaan acara lokakarya di Hotel Shangri La Jakarta, Senin (12/01/2015).
Lebih lanjut ia mengatakan, penyelenggaraan lokakarya tersebut menunjukan keseriusan dari pemerintah dan negara donor untuk menghentikan kejahatan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.
“Ini penting ditangani bersama. Sebab, kerusakan ini bukan hanya membawa dampak buruk bagi Indonesia saja. Tapi juga membawa pengaruh kepada negara luar. Dampaknya juga sangat luas. Oleh karena itu lah perlu keseriusan dalam masalah kanekaragaman hayati ini,” katanya.
Perlindungan keanekaragan hayati harus serius. Tidak hanya menindak pelaku kecil, tapi juga harus sampai korporasinya. “Kita sangat serius melakukan penindakan terhadap kasus pidana yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Saat ini, hakim bersertifikat lingkungan hidup mulai dari tingkat pertama hingga tingkat banding berjumlah 216 orang. Muhammad mengatakan, ke depan sertifikasi akan terus dilakukan.”Kami akan sebarkan hakim-hakim tersebut ke berbagai daerah. Terutama ke daerah yang rawan terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Satgas SDA Kejaksaan Agung Warsa Susanto mengatakan,dalam masalah teknis penanganan perkara, penyidik sudah sudah diatur di KUHP.
“Selain penyidik kepolisian, juga ada penyidik PNS. Dalam beberapa kasus yang ditangani oleh penyidik, baik oleh kepolisian maupun PPNS, untuk kasus lingkungan hidup kita berikan petunjuk. Itu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada,” kata Warsa.
Namun dari beberapa kasus kejahatan SDA yang ada, petunjuk yang diberikan oleh jaksa penyidik, ternyata masih belum terpenuhi oleh PPNS lingkungan hidup. “Apabila petunjuk yang kita berikan belum terpenuhi, kita masih tetap memberikan supervisi kepada penyidik yang bersangkutan. Sudah ada koordinasi namun masih belum juga terpenuhi. Oleh karena itu kita akan memberikan ketentuan. Karena dalam aturan undang-undang hukum acara, itu dibatasi waktunya 14 hari,” katanya.
Warsa mengatakan, penyidik harus mengikuti petunjuk dari Kejaksaan Agung. Kalau belum melaksanakan petunjuk kami, maka nantinya akan gagal. “Dalam beberapa kasus, kita sudah berikan petunjuk pelakunya, tapi ternyata belum disidik oleh penyidik. Ada hal-hal yang mungkin sulit dia temui di lapangan. Karena ini kan berbeda dengan kasus kejahatan biasa,” ujarnya.
Dalam kasus kebakaran hutan misalnya. Penyidik harus melihat ke lapangan yang jauh lokasinya. Sehingga berkas berkali-kali balik ke kejaksaan tapi berkasnya masih belum lengkap juga.
“Kami bukan tidak berani menyelesaikan dan memutuskan berkas itu sebagai satu bagian yang lengkap. Tapi semua berkas harus terpenuhi hingga dinyatakan lengkap dan dibawa ke pengadilan,” katanya.
Untuk jaksa yang memiliki sertifikasi lingkungan, Warsa mengatakan memang belum semua jaksa melakukan sertifikasi. Baru sebagian jaksa memilikinya.
“Kami akan terus bekerjasama dengan Mahkamah Agung dan instansi terkait untuk lakukan sertifikasi lingkungan hidup,” katanya.