Pohon Ditanam, Pohon Ditebang: Ruang Terbuka Hijau Palu Berkurang

Sabtu, 16 Agustus 2014, siang. Muhamad Isnaeni Muhidin, pegiat lingkungan di Kota Palu, mendadak marah. Ia melampiaskan emosinya pada teman-temannya yang sedang berkumpul di halaman kantor Radio Nebula FM. Usut punya usut, ia baru saja melewati taman kota di bundaran Jalan Sultan Hasanudin kala melihat pohon-pohon ditebang.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Pohon-pohon itu sudah besar dan menjadi ruang terbuka hijau di Kota Palu. Ini malah ditebang,” kata Neni, panggilan akrabnya.

Neni semakin marah. Setelah ia mendengar bahwa alasan penebangan pohon itu hanya untuk membangun tempat parkir kendaraan. Yang lebih memiriskannya, penebangan pohon itu terjadi saat Iwan Fals, legenda musik balada Indonesia, melakukan penanaman pohon sebanyak 6.000 bibit di Tugu Perdamaian Nosarara Nosa Batutu, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.

“Ini kan lucu. Pagi hari Iwan Fals menanam pohon di Tugu Perdamaian bersama pemerintah kota, siang harinya pohon di taman Kota Palu ditebang,” katanya.

Masyarakat Kota Palu menyebut taman kota itu sebagai “Taman Nasional.” Letaknya di pusat kota, tepat berhadapan dengan gedung juang, sebuah kantor militer, dan toko perbelanjaan.

Neni kini tercatat menjadi anggota forum Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Forum ini merupakan bentukan pemerintah. Anggotanya bisa individu maupun lembaga. Menurutnya, sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, pemerintah berkomitmen membangun ruang terbuka hijau sebesar 30 persen. Dan taman kota tersebut, katanya, merupakan titik ruang terbuka hijau yang diprioritaskan di Kota Palu.

Ia mengatakan, tidak ada alasan penebangan pohon hanya untuk membangun lahan parkir. Kalau membangun lahan parkir, kata dia, harusnya dibuat di luar taman. Ini kebijakan yang salah. Apalagi sebelumnya, Neni mengaku sudah menghubungi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Palu, dan mendapat jawaban bahwa sang kepala dinas berjanji tidak melakukan penebangan.

“Tapi ternyata, ada penebangan dengan alasan tidak ada lahan parkir. Masa pohon harus mengalah sama kendaraan,” tandasnya.

Penebangan pohon sendiri terjadi pada Sabtu (16/8) siang, sekitar pukul 13.30 waktu setempat. Pohon-pohon yang ditebang antara lain johar dan mahoni yang dikenal sebagai pohon pelindung, serta beberapa jenis bunga. Pohon itu diperkirakan berusia belasan tahun.

Salah satu dari tiga orang yang melakukan pekerjaan, mengaku bahwa mereka hanya diperintahkan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk menebang pohon karena akan dibuat lahan parkir. Untuk menebang pohon, para pekerja itu menggunakan gergaji mesin atau Chainshaw.

“Kami hanya diperintahkan menebang pohon di taman ini. Katanya untuk lahan parkir,” ujar salah seorang pekerja.

Iwan Lapasere, salah seorang warga kota Palu mengatakan, sekitar tahun 80-an dan 70-an ke bawah, “Taman Nasional” tersebut punya nilai sejarah, karena sering digunakan sebagai tempat upacara kemerdekaan. Pohon-pohon sebagai tempat berteduh dan tempat yang nyaman untuk anak-anak bermain.

“Waktu saya kecil, saya sering bermain di taman itu. Pohon-pohonya sudah ada. Sekarang pohon sudah ditebang hanya untuk dijadikan tempat parkir. Ini sama saja dengan membunuh memori kami,” ungkap Iwan.

Wakil Walikota Palu, Mulhanan Tombolotutu, ketika diminta keterangannya usai pagelaran konser Iwan Fals di bukit Jabal Nur, mengaku kaget dengan penebangan pohon di taman kota tersebut. Menurutnya Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Palu tidak melakukan koordinasi dengannya.

Selama ini, Mulhanan sering mengatakan bahwa Kota Palu sangat kekurangan ruang terbuka hijau. Ia juga yang mendampingi Iwan Fals menanam pohon. Apalagi Kota Palu memiliki konsep kota hijau berkelanjutan. Namun, setelah penebangan ramai dibicarakan, Mulhanan mendapat kabar bahwa yang ditebang hanyalah pohon kecil dan ranting-rantingnya saja.

“Saya kaget mendengar kabar ini. Tapi saya sudah minta kepada Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk segera membatalkan rencana pembuatan lahan parkir di taman kota. Kalo membuat parkir, harus di luar taman,” kata Mulhanan.

Kondisi taman kota yang telah ditebang dan akan dijadikan lahan parkir,  setelah Iwan Fals melakukan penanaman pohon, Sabtu, 16 Agustus 2014. Foto: Christopel Paino
Kondisi taman kota yang telah ditebang dan akan dijadikan lahan parkir, setelah Iwan Fals melakukan penanaman pohon, Sabtu, 16 Agustus 2014. Foto: Christopel Paino

Sumardi, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Palu, seperti dikutip dari www.kabarselebes.com, justru mengaku telah berkoordinasi dengan pemerintah kota. Namun menurutnya, penebangan pohon itu hanya yang kecil dan dua pohon saja. Tujuannya untuk kepentingan publik.

“Kita mau buat lahan parkir untuk warga yang mengunjungi bundaran taman nasional. Karena selama ini kendaraan pengunjung mengganggu lalu lintas,” kata Sumardi berkilah.

Mimbar bebas protes penebangan

Senin, 18 Agustus 2014, sore. Belasan orang mulai berkumpul di taman Kota Palu. Sebagaian besar berpakaian hitam. Protes terhadap penebangan pohon di taman kota yang akan dijadikan lahan parkir berlanjut. Mereka mendengar taman tersebut tetap akan dilanjutkan pembangunannya untuk lahan parkir.

Kali ini, Neni bersama rekan-rekan yang peduli dengan taman kota menggelar mimbar bebas. Mereka berorasi dan bermain musik menentang peralihan ruang tersebut. Namun di belakang mereka, truk berisi pasir terus melakukan penimbunan. Bunga-bunga yang tadinya menghiasi taman itu pun hilang.

“Ini bukan persoalan pohon, tapi peralihan ruang terbuka yang susah payah dibangun, namun dirusak hanya untuk dijadikan tempat parkir. Padahal di Kota Palu, yang kami tahu ruang terbuka hijau baru 10 persen. Sementara yang diamanatkan oleh undang-undang minimal 30 persen,” kata Neni berorasi.

Syahrudin Douw, Direktur Jatam Sulteng yang ikut dalam aksi itu mengatakan, selama dua puluh tahun tinggal di Kota Palu, ia ikut merasakan bagaimana pohon-pohon di taman itu memberikan dampak terhadap lingkungan.

“Tata ruang di Kota Palu tidak diatur dengan baik. Makin banyak kendaraan, kota makin semrawut. Sementara ruang terbuka seperti ini semakin kecil,” kata Etal, panggilan akrabnya.

Orasi dalam mimbar bebas sebagai bentuk protes penebangan pohon di taman kota Palu. Foto: Syarifah Latowa
Orasi dalam mimbar bebas sebagai bentuk protes penebangan pohon di taman kota Palu. Foto: Syarifah Latowa

Rahmat Saleh, akademisi dari Universitas Tadulako dan juga pemerhati tata ruang mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya taman kota ini sarat dengan nilai-nilai sejarah. Selain itu, dahulunya ia sering melihat tupai di pepohonan dan juga burung-burung yang bertengger.

Menurutnya, pemerintah kota tidak memiliki perencanaan yang matang dalam mengatur tata ruang. Sebab, tidak memiliki sistem zonasi. Padahal, pemerinta kota menurutnya bisa membuat konsep jejaring hijau, misalkan dengan membuat kanopi yang menghubungkan satu ruang terbuka hijau dengan ruang terbuka hijau lainnya.

“Selain itu, kalau alasannya pemerintah bahwa tidak ada lahan parkir, harusnya dibuat semacam konsep berbagi parkir. Misalkan kendaraan bisa parkir di halaman gedung juang atau di halaman lainnya,” katanya.

Menurutnya lagi, aktivitas kendaraan yang lalu lalang di bundaran tersebut merupakan bagian dari ketidakmatangan pemerintah kota dalam mengatur ruang terbuka hijau. Harusnya kendaraan dialihkan ke jalan lain. Dia juga mengusulkan agar pemerintah setempat menggelar kegiatan seperti festival bunga untuk menghidupkan taman tersebut.

Dalam aksi mimbar bebas tersebut, para pencinta lingkungan ikut menanam bibit pohon di lokasi yang sudah ditimbun pasir. Penanaman itu sebagai bentuk protes terhadap pembangunan lahan parkir di taman kota.

Saat pemerhati lingkungan melakukan protes, disaat bersamaan truk terus melakukan penimbunan di taman kota untuk dijadikan lahan parkir. Foto: Syarifah Latowa
Saat pemerhati lingkungan melakukan protes, disaat bersamaan truk terus melakukan penimbunan di taman kota untuk dijadikan lahan parkir. Foto: Syarifah Latowa

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,