Pelaku usaha sektor kehutanan diberi batas waktu sampai akhir Maret tahun ini untuk mendapatkan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang resmi berlaku sejak Januari 2013. Namun, kalangan pengusaha mengaku sulit memenuhi. Terbukti, sampai akhir Maret ini, baru 58 perusahaan mendapatkan sertifikat ini.
“Maret tinggal beberapa hari, waktu yang pendek ini bagaimana cara untuk dapat. Ini yang masalah besar,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rahardjo Benyamin, di sela acara APHI-TBI 6th Signing Event: Combined Certification for Legality (SVLK) and Sustainability (PHPL-FSC) in Natural Forest Management in Indonesia, di Jakarta, Rabu (20/3/13).
Untuk itu, dia meminta kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) agar tak mengeluarkan sanksi dulu kepada perusahaan yang belum memiliki sertifikasi kayu ini. “Kami berusaha memenuhi. Kami sedang usaha, beri kami waktu.”
Kemenhut, katanya, perlu memberi mereka kesempatan mengurus SVLK ini. Kendala di lapangan, lembaga sertifikasi hanya ada delapan. Proses audit lacak balak kayu setidaknya memerlukan minimal tiga bulan untuk setiap unit perusahaan. “Jumlah aksesor saat ini sangat terbatas.”
Tak hanya masalah lembaga sertifikasi. Pelaku usaha juga terkendala dana di tengah harga per meter kubik kayu yang terus turun dibarengi harga pokok produksi tinggi. “Untuk mengurus sertifikasi perlu dana tidak sedikit. Paling tidak Rp500 juta.”
Rahardjo menjelaskan, saat ini yang sudah memperoleh SVLK, ada 35 perusahaan di hutan alam dan 23 HTI. Untuk, perusahaan yang sudah mendapatkan pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) di hutan alam ada 91 dan HTI 35. “Mereka yang mendapatkan PHPL sebenarnya sekaligus bisa dapat SVLK.
Saat ini, anggota APHI sebenarnya 425 perusahaan, namun hanya 215 yang aktif. Sedang seluruh perusahaan dalam industri ini ada sekitar 550 unit. Indonesia, merupakan negara pertama di Asia, yang menerapkan sistem yang diklaim mampu menekan laju illegal logging maupun logging laundering ini. Dengan sistem ini, kayu, diyakini bisa dilacak mulai tebang sampai produk akhir.
Sistem ini, hasil kerja sama enam kementerian, yakni, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Kerja sama TBI-APHI
Enam perusahaan di Indonesia, Rabu(20/3/13) menandatangani kerja sama dengan The Borneo Initiative (TBI) untuk bersama-sama memulai program SVLK/PHPL dan FSC di konsesi mereka seluas 358.787 hektar. Perusahaan-perusahaan ini adalah PT Carus Indonesia, PT Wana Bakti Persada Utama, PT Aditya Kirana Mandiri, PT Inhutani II unit Sei Tubu, Semanu dan Malinau.
Bambang Hendroyono, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kemenhut, mengatakan, sertifikasi hutan merupakan prioritas utama kementerian. “Kami menyambut baik dukungan mencapai target sertifikasi SVLK-PHPL ini.”
Menurut dia, Indonesia, membangun mandatori demi kebutuhan sistem yang bisa berkontribusi mengatasi persoalan penebangan ilegal, perdagangana ilegal serta mewujudkan tata kelola kehutanan menuju PHPL. Jesse Kuijper, Anggota Dewan Eksekutif TBI mengungkapkan, legalitas asal usul kayu penting untuk masuk ke pasar premium Amerika Serikat, Eropa, Jepang, maupun Australia.
Banyak Kelemahan
Abu Meridian, Koordinator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), mengkritisi sistem ini. Dia mengatakan, masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam SVLK. Pertama, implementasi SVLK di lapangan, terkendala belum tersebarnya pengetahuan, termasuk sistem informasi dan data di instansi terkait terbatas.
“Kadang data di daerah tidak lengkap, data industri kehutanan di tingkat nasional dan tidak ada di daerah,” katanya. Belum lagi, banyak stakeholder di daerah belum paham betul SVLK. Masih banyak salah kaprah menganggap, SVLK upaya mendorong harga kayu atau mendapat premium price dari buyer. “Jika mendapat V legal otomatis dianggap harga kayu akan naik.”
Kedua, mekanisme respon terhadap aduan (complaint handling) berbeda-beda dari tiap auditor. Kondisi ini berakibat kepada efektivitas aduan yang dilaporkan masyarakat maupun kelompok masyarakat sipil terkait kecurigaan penyimpangan di lapangan.
“Sejauh pengamatan kami hanya ada dua perusahaan langsung menangani aduan, yang lain memilih membuat tim adhoc untuk menindaklanjuti temuan serta membuat analisis yang terjadi”
Ketiga, arti legal SVLK masih terkesan melulu kepada fokus urusan aliran legal di tingkat industri, belum menyentuh dan mengatur kepada aliran asal muasal kayu. “Bagaimana jika industri merupakan pembeli kedua? Kayu dibeli dari pembeli pertama, yang berlaku sebagai broker yang bermain dengan asal comot kayu dari sana sini?” Sistem ini, kata Abu, amat longgar di lapangan dan rentan disalahgunakan. “Cap legal di tingkat industri, belum tentu identik sumber aliran kayu ke industri.”
Untuk itu, perusahaan auditor harus jeli terhadap hal ini, karena urusan kebocoran asal kayu amat tinggi. Industri yang nakal bisa saja akan pilih-pilih perusahaan auditor yang dianggap mudah diajak kerja sama ataupun kurang jeli, dengan mencoba menutup-tutupi pelanggaran aturan yang terjadi.