Jayadi Paembonan, Kembalikan Produktifitas Lahan Lewat Sistem Permakultur

Dunia sudah dimonopoli oleh industri hingga menyebabkan banyak kerusakan lingkungan. Saat ini upaya yang dilakukan adalah untuk mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem, yaitu mengintegrasikan lahan dan manusia secara harmonnis untuk penyediaan pangan, pemukiman, energi secara berkelanjutan.

Konsep itulah yang membawa Jayadi Paembonan (38) untuk mengembangkan permakultur. Dia mencoba mengaplikasikan permakultur hasil belajar yang dia peroleh dari Australia hingg ke India.

Bersama dengan istrinya Federica yang orang Australia, Jayadi saat ini bermaksud mengembangkan permakultur, secara khusus, di Kalimantan Tengah.

Dia mengaku inspirasi bersahabat dengan alam, berasal saat peristiwa Black Saturday di Melbourne pada Februari 2009. Jayadi yang saat itu tinggal di Australia mengikuti istrinya, menyaksikan kebakaran hutan hebat yang melanda kota itu. Sebanyak 210 korban berjatuhan, 700 rumah habis terbakar melahap wilayah seluas tiga ribu km persegi.

“Peristiwa tersebut sangat mempengaruhi hidup saya. Membuat saya berpikir bahwa kerusakan lingkungan akibat industri memang sudah tampak di hadapan. Kesadaran saya terbentuk, hingga akhirnya ada seorang teman saya mengenalkan ilmu permakultur,” jelas Jayadi saat ditemui Mongabay beberapa waktu yang lalu.

Awalnya Jayadi tidak tahu-menahu tentang permakultur. Sebelumnya dia bersekolah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung sebelum melanjutkan pendidikan diploma di Eltham Collage Melbourne mengikuti istrinya. Saat di Australia itulah dia memutuskan memperdalam ilmu tentang permakultur.

“Pada saat itu saya satu-satunya mahasiswa yang tak bisa berbahasa inggris. Saya sangat malu, tapi dosen saya bilang jangan khawatir nanti akan dicarikan teman,” jelasnya mengenang masa-masa hidup di negeri orang.

Di Australia ia tinggal selama delapan tahun. Setelah menyelesaikan studi diplomanya, ia memutuskan untuk menjadi relawan di India guna mengimplementasikan ilmunya tersebut. Ia menjadi relawan di Anisha Foundation dalam kurun waktu antara 2013 hingga 2014.

“India selatan lingkungannya lebih kering dan lahannya lebih banyak bebatuan dibandingkan di Indonesia. Kerusakan lingkungan semakin kentara karena imbas dari pengrusakan hutan dan monopoli industri pangan.”

Akibatnya banyak lahan pertanian yang mengalami kekeringan, ia melihat warga India harus berkorban banyak untuk mendapatkan pupuk dan sebagainya. Untuk meningkatkan produksi mereka harus membeli bibit, pupuk, dan bahkan air.

Belajar dari pengalamannya di India, ia tak ingin hal tersebut juga terjadi di tanah air yang ia cintai, Indonesia. Hingga pada tahun 2014, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Kini ia menetap di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Bersama istrinya, ia membangun Yayasan Permakultur Kalimantan pada bulan November 2014.

Jayadi ketika memberikan bimbingan permakultur di India Selatan. Foto: pribadi
Jayadi ketika memberikan bimbingan permakultur di India Selatan. Foto: pribadi

Konsep Permakultur

“Permakultur adalah konsep ekologi yang mengembalikan sebuah sistem yang sudah permanen di masyarakat. Salah satunya hutan sebagai sebuah ekosistem dimana bukan hanya ada tumbuhan di dalamnya. Permakultur merupakan perpaduan agrikultur tapi bukan hanya pertanian dan peternakan di dalamnya. Melainkan sebuah konsep yang holistik,” jelas Jayadi.

Menurutnya, konsep permakultur merupakan jawaban atas permasalahan ketahanan pangan akibat bertambahnya jumlah populasi. Manusia bertambah, tetapi suplai makanan berkurang. Masyarakat lokal pun yang paling merasakan dampak dari industrialisasi yang ada.

Lebih lanjut permakultur sebenarnya melibatkan hampir semua unsur kehidupan manusia dalamnya. Mulai dari persoalan sosial ekonomi, budaya, lingkungan, dan bagaimana keterlibatan masyarakat secara partisipatif untuk mengembalikan kepedulian terhadap bumi, manusia dan masa depan manusia.

Kegelisahannya pun muncul dari keadaan dewasa ini dimana banyak benih lokal yang sudah mulai hilang. Demikian pula banyak ternak yang sudah dimodifikasi genetik untuk kebutuhan produksi. Contohnya ayam broiler dan rekayasa makanan lainnya.

Menurut Jayadi, selama ini pengetahuan masyarakat sudah terdegradasi. Karena secara sumber daya, lingkungan mereka hidup sudah banyak dikuasai oleh industri.

Dia pun tak sepakat dengan ekspansi alihfungsi lahan perkebunan yang semakin masif terjadi di Kalimantan. Menurutnya, hal itu tak bagus untuk keberlanjutan ekosistem. Dengan alasan ekonomi dan industri, banyak warga yang rela melepaskan lahannya untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Padahal dari banyak pengalaman yang ia lihat, sebenarnya banyak lahan tidur milik warga yang kurang diolah dengan baik.

Alih-alih tanaman monokultur, Jayadi menyarankan lahan ditanami secara beragam.

“Selain kelapa, bisa juga ditanami pohon cokelat. Lalu di sekitarnya bisa ditanami sayur mayur dan tanaman obat. Jadi ada tanaman jangka panjang, menengah dan pendek. Tak hanya mengandalkan satu komoditas saja. Lahan menjadi produktif, secara penghasilan juga lebih menjanjikan,” ujarnya.

Jayadi ketika memberikan pelatihan permakultur di India Selatan. Foto: pribadi
Jayadi ketika memberikan pelatihan permakultur di India Selatan. Foto: pribadi

Edukasi ke Sekolah

Di Yayasan tempat ia mengabdikan diri, Jayadi banyak mendampingi warga untuk menerapkan konsep permakultur dalam pengelolaan lahan mereka. Beberapa daerah di Kalteng yang sudah ia dampingi diantaranya Pulang Pisau, Kalampangan, Tangkiling, juga Kuala Kapuas.

Kegiatan lain yang dilakukan Yayasan Permakultur Kalimantan adalah School Kitchen Garden (SKG). Lewat program yang berjalan sejak Agustus 2015 itu, ia mencoba memberikan edukasi kepada sekolah-sekolah bagaimana mengimplementasikan permakultur. Termasuk, melakukan edukasi kepada para siswa bagaimana praktek berkebun berkelanjutan yang baik lewat kurikulum yang mudah dipahami.

“Agar hama tak ada tanpa penggunaan bahan kimia, kita memberitahukannya secara pelan-pelan, tak hanya lewat konsep, yaitu membuat kompos, untuk mengembalikan fungsi tanah. Murid perlu tahu bahwa tanah bukan hanya sebuah hamparan tapi ia juga makhluk hidup.”

Darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, tak lantas ia tinggalkan. Kemampuannya dalam berkreasi seni, ia manfaatkan untuk melakukan kampanye penyadartahuan akan pentingnya lingkungan dan hutan bagi masyarakat luas.

“Pembiayaan untuk operasional Yayasan Permakultur lebih besar dari kami pribadi, selanjutnya dari jaringan persekawanan. Kami bekerja bukan karena adanya, tapi karena kepuasan hati. Sejauh ini pembiayaan memang sulit. Dana kecil atau besar, semua tergantung komitmen kita,” katanya.

Meski fokusnya di Kalimantan, tapi secara global Jayadi juga membangun jaringan.  Respon masyarakat yang ia damping sejauh ini menurutnya luar biasa. Mengapa? Karena sebenarnya konsep permakultur katanya, tak jauh dari kehidupan masyarakat sendiri. Masyarakat sebenarnya memiliki konsep itu  turun-temurun tapi belum menyadari.

“Salah satu contoh misalnya masyarakat adat yang memiliki hutan. Apa sih hutan itu? Ini yang kita coba sadarkan bahwa sesuatu yang mereka miliki yang dianggap biasa padahal sebenarnya luar biasa. Di dalam model itu kita memberikan model intensif dalam sistem ini. Sebenarnya kita sudah ada konsep wanatani, itu menjadi salah satu konsep yang luar biasa tapi orang sudah banyak yang lupa,” katanya.

Baginya untuk menyadarkan masyarakat memang membutuhkan kesabaran ekstra. Selama ini katanya, masyarakat selalu menginginkan hal yang cepat dan instan. Padahal untuk mengubah mindset dan mengembalikan pada pola-pola yang alamiah itu butuh waktu.

“Saya mencoba menyadarkan masyarakat bahwa untuk menerapkan konsep ini memang butuh waktu lama, tapi dampak yang dihasilkan untuk keberlanjutan nantinya akan sangat baik. Jadi tantangannya bukan di soal uang, tapi waktu. Sesuatu itu berawal dari diri kita sendiri. Kalau kita senang, itu akan berlanjut. Jangan menanam untuk kebutuhan orang lain, tapi tanamlah untuk kebutuhan sendiri,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,